Lihat ke Halaman Asli

Farhandika Mursyid

Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Cerpen | Nostalgia Itu Bernama Kutukan

Diperbarui: 6 November 2017   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : c2o-library.net

"Nak, selalu ingek pesan amak yo. Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah."

Tiga hari perjalanan ke Yogyakarta memang terasa melelahkan. Namun, lelah itu masih dapat tersampul dengan ramahnya suasana Kota Pelajar. Sekarang, sudah saatnya untuk kembali menghirup udara Jakarta. Kota yang sangat keras, ramai, dan selalu memberikan tantangan bagi orang yang memasukinya. Menurut pernyataan Bang Ari, hari ini akan diumumkan siapa saja yang lolos dari proses rekrutmen The Indonesian Eyes. Entah apa yang membuatku yakin meskipun hati kecil merasa panik dengan pengumuman tersebut. Pagi ini, sebenarnya aku diundang untuk sesi wawancara kerja dengan sebuah surat kabar lokal di Jakarta untuk posisi wartawan. Namun, entah kenapa, karena tubuhku sedang kurang fit, aku memutuskan untuk tidak mengikuti sesi itu.

Apakah ini tanda bahwa aku akan diterima atau mungkin ada sesuatu yang buruk? Hanya waktu yang bisa menjawabnya kelak.

Sesampainya di kosan, aku langsung habiskan waktu dengan istirahat. Benar-benar, sejak kemarin tonsillitis ini mulai memaksaku untuk terkapar di kasur. Cukup beruntung karena aku masih dalam keadaan fit ketika menjalani sesi wawancara di Yogyakarta. Aku pun mulai memasukkan dua jenis obat yang sering dibawa, yaitu Ibuprofen dan Antibiotik ke saluran pencernaan. Namun, istirahatku mulai terganggu karena adanya godaan dari berbagai chat yang masuk ke telpon genggam. Chat yang terkesan biasa, sampai ada sebuah chat yang benar-benar menggairahkan untuk diladeni.

"Andi, lo ikut wawancara The Indonesian Eyes?"

"Iya, kok tau? Ini siapa?"

"Ini Tino, temen lo waktu S1 dulu. Gimana kabar lo?"

"Oh, baik kok gue. Kok gue ga ngelihat lo ya pas di sana?"

"Ya, kaga tau lah. Bodoh banget sih lo. Lo masih ga berubah ya sejak S1, polos-polos nyebelin gitu."

"Haha."

"Anjir lo ketawa. Hati-hati ya, lo masih berada dalam kutukan Haris. Awas aja kalo  entar lolos, gue bakal sebarin aib-aib lo. Tapi, mana mungkin orang kayak lo itu lolos. Kan, gue masih penulis paling hebat di kampus. Palingan juga, Bang Ari nganggep wawancara lo itu sampah. Dokumen lainnya juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline