"Iya deh. Kita lihat aja ntar gimana hasilnya."
"Halah, ga usah sok-sok tawakal deh lo. Lo itu memperkeruh suasana doang ntar di sana. Gue dong, otak gue kan cemerlang gitu. Eh, lo sejak keluar, paling lo udah jadi gembel doang kan? Malu-maluin ortu doang lo bisanya."
"Gak kok, Bro. Gue masih bahagia aja sampai sekarang."
"Hah? Bahagia? Bullshit! Udah ah, gue ga mau ngechat dulu sama lo, orang buangan gini buat apa dichat. Habisin waktu doang, maaf ya, orang-orang negatif kayak lo itu ga mungkin dilolosin The Indonesian Eyes. They need competent writer like me, not you. Udah ah, jijik ngechat ama lo."
OoOoOoOoOoOoO
Chat dari Tino tadi sontak membawaku berjalan ke nostalgia memori kelam. Sebelumnya, aku sempat menghabiskan waktu satu tahun berkuliah di salah satu universitas swasta di Indonesia ketika itu mengambil jurusan Akuntansi. Kampus tersebut memang kampus yang dihuni oleh kaum elit. Bayangkan, waktu saya ikut daftar ulang saja, mobil-mobil turut berjejeran mengiringi para calon mahasiswa baru. Mungkin, dari sekian banyak mahasiswa yang mendaftar, aku mungkin orang yang bukan berasal dari keluarga yang mampu beli mobil secara cepat. Aku datang mendaftar ulang bersama orangtua yang sangat senang ketika anaknya berkuliah di kampus yang elit dan terkenal mahal.
Ya, mereka setuju dengan anggapan bahwa kita harus berteman dengan penjual parfum jika ingin kecipratan wanginya dan jangan berteman dengan para pemulung jika takut kecipratan baunya. Tentunya, datang dari keluarga yang sederhana, mereka selalu ingin jika anaknya dapat menyicipi indahnya kesuksesan secara finansial. Mendengar berita bahwa anaknya berkuliah di kampus elit, Amak dan Apak ikut daftar ulang dengan baju yang keren yang dikenakan setiap pesta perkawinan warga di kampung. Bukan hanya itu, warga sekampung juga turut mendoakan kesukesanku kelak ketika itu. Mereka membayangkan suatu saat, akan ada seorang yang membawa kampungnya ke arah kesuksesan. Dan, akulah harapan itu. Seorang anak dari bapak dan ibu pendidik yang memiliki sawah dan ternak dan juga sebagai pengusaha toko kelontong dan jasa cuci pakaian.
Hari-hari kuliah di kampus itu aslinya berjalan dengan baik, aku berkenalan dengan beberapa orang. Mereka cukup menerima keberadaanku dan tidak memandangku dari latar belakang sosial. Tidak sedikit juga yang ingin mengunjungi kampung halamanku kelak ketika liburan. Ya, setidaknya sampai ketika aku memutuskan untuk mendaftar di dewan pers fakultasku.Â
Ketika itu, banyak yang mengelu-elukan Tino karena merupakan penulis terkenal. Artikelnya sering menjadi langganan koran lokal, bahkan nasional. Dia juga sering mengikuti lomba menulis esai. Ibaratnya, Tino sendiri sudah menjadi incaran besar bagi Dewan Pers Fakultas. Sementara aku, memang aku senang menulis, namun aku masih merasa harus belajar lebih dalam dan lebih lagi untuk menjadi penulis yang handal. Aku merasa bahwa Tino dapat menjadi seorang mentor yang baik dalam kepenulisan kelak. Semoga saja.
OoOoOoOoOoOoO
Suasana di Dewan Pers memang bagus, rapatnya menyenangkan. Tino memang cukup baik denganku, dan di bulan pertama dia menjadi anggota, dia sudah diangkat sebagai tim editor. Aku sendiri berpikir positif berhubung dia adalah penulis yang handal ditambah dengan kesuksesan dia sebagai penulis. Sebuah hal wajar jika dia menduduki posisi yang cukup bergengsi, dalam mahasiswa tahun pertama. Tentu, sebuah prestasi yang dianggap wajar untuk orang sekaliber Tino.