Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Dulu Banyak "Atapers" KRL Tewas Tersengat Listrik dan Terjatuh

Diperbarui: 24 Januari 2022   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para penumpang naik di atap kereta api Jabodetabek (Foto: Agung Fatma/republika.co.id)

Beberapa hari lalu keluar pengumuman bahwa tarif Kereta Rel Listrik (KRL) akan naik. Buat saya sebenarnya tidak menjadi masalah, toh saya jarang sekali menggunakan KRL. Paling sekali-sekali saya menggunakan KRL kalau ada acara di Kampus UI Depok atau acara lain di sekitar Bogor. Kalau masih di Jakarta saya menggunakan bus TransJakarta.

KRL diidentikkan dengan wilayah Jabodetabek. Tarifnya murah sehingga menghemat biaya transportasi. Sekadar gambaran, tarif Jakarta Kota -- Bogor hanya Rp 5.000. Itu tarif maksimum. Saya pernah naik dari stasiun Juanda berhenti di stasiun UI, tarifnya Rp 3.000. Jadi murah meriah dan menghemat isi kantong.

Namun tentu menjadi masalah besar buat masyarakat yang sering menggunakan KRL untuk bekerja atau berdagang, apalagi setiap hari atau taruhlah dari Senin sampai Jumat. Kalau sekali jalan naik Rp 2.000, tinggal dikalikan saja berapa tambahan pengeluaran mereka.  

Pengguna KRL berdesakan di dalam gerbong saat jam sibuk (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO )  

Dulu semrawut

Masa 1970-an moda transportasi masal kereta api identik dengan kesan semrawut dan kotor. Kita sering menjumpai kereta api yang penuh sesak dengan penumpang, ada yang duduk di lantai, berjejal di bordes, bergelantungan di pinggir gerbong atau di pintu, dan menaiki atap gerbong kereta. Bahkan tidak membeli tiket. Bayangkan bagaimana petugas bisa memeriksa tiket, kalau penumpang berjejalan.

Menurut koransulindo.com, kondisi semakin kacau dengan masuknya pengamen, pedagang asongan, penyemir sepatu, pengemis, hingga copet. Mereka dapat dengan mudah masuk stasiun atau masuk ke dalam gerbong kereta, karena tidak ada pembatasan orang yang bisa masuk stasiun. Penumpang dapat leluasa keluar masuk stasiun melalui celah lubang di sekitar stasiun. Ironisnya lagi, penumpang sudah terbiasa membayar di atas kereta kepada petugas pemeriksa karcis. Tentu di bawah harga resmi. Saya sendiri pernah 2 kali membayar tiket di atas kereta, namanya juga mahasiswa, hehehe...

Hingga 2008 KRL atau kereta komuter (commuter line) jarak dekat jurusan Bogor/Bekasi -- Jakarta tergolong masih semrawut. Banyak penumpang nekad duduk di atas gerbong, padahal sudah banyak penumpang yang tewas karena tersengat listrik atau terjatuh. Mereka yang duduk di atap sering disebut atapers.

Untuk menghalau atapers pernah digunakan berbagai cara seperti menggunakan cat semprot dan membuat pintu koboi serta cara-cara lain. Meskipun sudah banyak korban jiwa, tetap saja masyarakat masih nekad.

Sekonyong-konyong muncul 'malaikat penyelamat' bernama Ignasius Jonan. Ia diangkat menjadi Dirut PT KAI pada 2009. Segera ia memperbaiki lingkungan luar dan dalam stasiun. Tiket berupa kartu elektronik mulai diberlakukan. Mulai saat itu hanya penumpang bertiket boleh masuk stasiun.

Menurut buku Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014, pada 2013 PT KAI menggunakan sistem Electronic Ticketing Single Trip dan Multi Trip dengan gerbang elektronik pada seluruh jaringan/stasiun KRL Commuter Line.  Sejak beberapa tahun lalu penumpang KRL bisa menggunakan kartu elektronik dari bank mana pun untuk memasuki stasiun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline