Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Berabad-abad Lampau Mumi Raja Mesir Menggunakan Rempah-rempah Nusantara

Diperbarui: 7 Juli 2020   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: kapal layar terpampang pada relief Candi Borobudur (Foto: Restu Gunawan)

Hari ini 7 Juli 2020 Museum Bahari berulang tahun. Museum yang beralamat Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Jakarta Utara, ini berdiri pada 7 Juli 1977. Jadi usia saat ini 43 tahun.

Untuk menyambut keceriaan tersebut, Museum Bahari menyelenggarakan sebuah kegiatan bertopik "Pasar Ikan Explorer". Kegiatan berlangsung pada 7-12 Juli 2020. Mengingat masih dalam masa pandemi, tentu saja kegiatan mempertimbangkan protokol kesehatan.

Acara pembukaan berlangsung secara tatap muka terbatas dan virtual di auditorium. Hadir pada acara tersebut Kepala UP Museum Kebaharian Pak Berkah Shadaya, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Pak Iwan Henry Wardhana, dan Ketua Paramita Jaya Pak Yiyok T. Herlambang.

Pak Restu (kiri) dan Pak Heri (kanan)/Dokpri

Diskusi

Setelah pembukaan dan pemotongan tumpeng, acara diisi dengan diskusi Penulisan Sejarah Kebaharian Indonesia dengan tiga narasumber, yaitu Pak Restu Gunawan (Direktur Pemanfaatan dan Pengembangan Kebudayaan, Kemdikbud), Pak Heri Sutrisno (Subdisjarah Dispenal TNI AL), dan Pak Jodhi Yudono (jurnalis/musikus). Sebagai moderator Mas Firman dari Museum Bahari.

Pak Restu di awal makalahnya menceritakan tentang laut bebas, misalnya antara Jawa dan Kalimantan dulu dapat dilayari kapal asing. Namun kemudian kapal asing hanya dapat berlayar di perairan lepas.

Poros maritim ikut diuraikan Pak Restu. Dengan adanya pencanangan poros maritim, mulai dibangun pelabuhan berskala internasional, transportasi antarpulau dan kawasan, percepatan bongkar muat, dsb. "Pembangunan infrastruktur maritim yang dilakukan secara terus-menerus yang merupakan bagian dari 'tradisi kecil' sangat penting. Namun untuk memperkuat tradisi kecil tersebut perlu didukung oleh penguatan pembangunan 'tradisi besar' kemaritiman yang lebih mengedepankan alam pikir, perilaku sehingga akan terbentuk karakter kemaritiman bangsa Indonesia," kata Pak Restu.

Pemandu Museum Bahari dan penjaja kerak telor (Dokpri)

Tradisi besar kemaritiman Indonesia ternyata telah hancur pada masa kolonial. Belanda membangun pelabuhan-pelabuhan besar, tapi dalam waktu bersamaan Belanda menghancurkan tradisi kemaritiman bangsa Indonesia.

Belanda, misalnya, membuat peraturan dan perjanjian yang melarang nelayan Makassar melakukan pelayaran di luar pulau sekitar Makassar kecuali ada izin. Perjanjian Belanda dengan Mataram tentang pengelolaan pantai utara Jawa telah menghancurkan tradisi melaut orang Jawa. Di Bali hukum tawan karang dihapuskan. Begitulah Pak Restu memberi contoh.

"Sebenarnya tradisi kemaritiman bangsa Indonesia sudah ada sejak berabad-abad lampau. I-tsing (abad ke-7) dan Tome Pires (abad ke-15), bahkan pada abad sebelum Masehi sudah ada informasi tentang pelayaran dari Nusantara. Umumnya mereka adalah pemburu rempah-rempah di kepulauan kita. Pada abad sebelum Masehi saja, mumi Raja Ramses dari Mesir menggunakan rempah-rempah," begitu kata Pak Restu.

Jadwal acara 7-12 Juli 2020 (Dokpri)

Historiografi
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline