Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Koleksi dari Enam Istana Kepresidenan Menjadi Tontonan Publik di Galeri Nasional

Diperbarui: 27 Agustus 2016   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengunjung yang tidak membludak membawa kenikmatan untuk mengapresiasi koleksi

Baru pertama kali Galeri Nasional menampilkan pameran bertajuk Goresan Juang Kemerdekaan: Pameran Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT ke-71 negara kita dan dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada 1 Agustus 2016 lalu. Pameran akan berlangsung hingga 30 Agustus 2016.

Saya sendiri baru sempat mengapresiasi pameran tersebut pada 18 Agustus lalu. Itupun sekalian mampir dari Hotel Redtop, Pecenongan, karena malam sebelumnya saya menerima penghargaan sebagai juara 1 lomba karya tulis kearsipan untuk kategori umum. Lomba tersebut diselenggarakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Langsung saja saya meninggalkan hotel pagi hari sekitar pukul 09.00. Jarak Pecenongan ke Galeri Nasional di Medan Merdeka Timur memang cukup dekat.  

Karena hari biasa dan tengah bulan, maka masyarakat yang ingin melihat pameran tidak membludak. Saya mendaftar di sekretariat lalu memasuki ruang pameran yang dijaga amat sangat ketat. Maklum, koleksi-koleksi yang dipamerkan sulit ditaksir dengan rupiah. Jumlah pengunjung boleh dikatakan lumayan. Ada wisatawan mancanegara dan banyak pelajar di dalam ruangan.

Lukisan Raden Saleh ini paling sering dicari pengunjung

Nah soal istana kepresidenan, ada enam yang berpartisipasi di sini, yakni istana di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Tampaksiring. Khusus di Jakarta ada dua istana, yakni Istana Merdeka dan Istana Negara.

Ada 20-an koleksi lukisan yang dipamerkan di sini. Bisa disebut secara abjad Affandi, Basoeki Abdullah, Dullah, Gambiranom Suhardi, Harijadi Sumadidjaja, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, Ida Bagus Made Nadera, Kartono Yudhokusumo, Lee Man Fong, Mahjuddin, Raden Saleh, Soedjono Abdullah, S. Sudjojono, Srihadi Soedarsono, Surono, dan Trubus Sudarsono. Ada pula nama-nama yang berciri asing seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Mereka mewakili zaman dan aliran seni lukis.

Salah satu benda seni yang turut dipamerkan

Selain lukisan, dipamerkan sejumlah benda seni yang berasal dari beberapa negara sahabat.  Ada lagi koleksi buku-buku seni yang berasal dari masa Presiden Soekarno dan buku-buku produk masa sesudahnya. Koleksi lain berupa foto-foto bersejarah untuk mendukung koleksi.

Beruntung saya kenal dengan Kepala Galeri Nasional, Tubagus Sukmana yang biasa dipanggil Andre. Dari beliau saya memperoleh katalog pameran dan tentu saja publikasi-publikasi lain.

Menurut Menteri Sekretaris Negara Pratikno sebagaimana tertulis dalam katalog pameran, “Sebagai bangsa yang dikaruniai warisan sejarah kebudayaan yang luhur, kita berkewajiban untuk dapat memaknai karya seni pada lingkup pemahaman yang lebih luas”. Selanjutnya ditulis, “Karya seni, harus dapat kita maknai, tidak saja sebatas hasil kreativitas individu, namun juga sebagai bagian dari ornamen pembangunan”.

Pameran lukisan dan benda-benda koleksi Istana Presiden Republik Indonesia ini adalah usaha perdana sejak 71 tahun lalu. Sejak Presiden Soekarno mengoleksi sejumlah lukisan dan benda seni lain di masa penjajahan Belanda hingga kini, istana presiden menjadi ruang istimewa: museum benda-benda koleksi. Dalam pameran ini, karya-karya tersebut beralih dari benda koleksi lembaga yang hanya ditonton segelintir orang, menjadi benda tontonan publik. Demikian kata kurator pameran, Mikke Susanto dan Rizki A. Zaelani.

Nah soal foto-foto yang dipamerkan ada sedikit pelurusan sejarah dari seorang rekan saya Bambang Eryudhawan. Arsitek yang satu ini memang hobi membaca buku-buku sejarah. “Foto ini diterangkan sebagai pematung Italia, padahal dia adalah Osamu Noguchi, perupa Amerika kelahiran Jepang yang tersohor,” kata Yudha.

Judul foto yang dinilai keliru (Foto ini berasal dari Facebook Bambang Eryudhawan)

Namanya manusia memang selalu ada kekurangan. Kita harapkan caption yang keliru bisa dikoreksi.  Itulah manfaat kalau ada pameran di ruang publik, masyarakat bisa ikut mengritisi.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline