Lihat ke Halaman Asli

Satu Jam di RRI Banjarmasin

Diperbarui: 26 Juni 2018   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: klasika.kompas.id

Tanggal 19 Juni 2018, saya mampir di Stasiun RRI Banjarmasin untuk menengok teman-teman yang sedang bertugas. Libur waktu itu, jadi yang bertugas hanya teman-teman pemberitaan, para penyiar dinas dan teknisi. Omong-omong sebentar dengan produser bernama Arun, saya mendapat kesan bahwa RRI tidak begitu banyak berubah setelah saya tinggalkan pensiun tahun 2001. Masih banyak masalah yang belum terselesaikan yang tidak dapat saya tulis karena ini menyangkut "rahasia perusahaan".

Masuk ke ruangan siaran, sedang disiarkan acara interaktif dalam bahasa Banjar. Sang penyiar langsung meminta saya ikut bergabung karena yakin saya mengerti bahasa Banjar. Maka saya pun terlibat dalam acara itu menggunakan bahasa Banjar sebisanya saja, secara pasif, layaknya David Carradine berbahasa Inggris dalam serial TV "Kungfu".

Saya memang mengerti bahasa Banjar karena sejak menikah dengan isteri saya, orang Banjarmasin, Gusti Syahriah tahun 1972, sehari-harinya istri saya berbicara dalam bahasa ibunya itu. Jadi lama-lama saya mengerti juga. Yang membanggakan saya, ternyata para penelepon berasal dari berbagai daerah di luar kota Banjarmasin yang ratusan kilometer jauhnya. 

Ini berarti RRI masih didengarkan orang di tempat-tempat yang jauh sekali pun. Saya tidak tahu apa masih ada kawasan blank spot atau kawasan tidak bisa menangkap siaran RRI. Semasa bertugas di RRI Singaraja tahun 1992-1997, kawasan blank spot itu mencapai 40%. Ini menurut perkiraan saja. Tidak ada riset untuk itu karena biayanya sangat mahal.

Saya merenung, seandainya RRI menyediakan Unit Riset dalam organisasinya, tentu akan lebih baik. Melalui riset dapat diketahui berapa jam sebetulnya yang diperlukan sebuah stasiun RRI untuk siaran setiap harinya, acara-acara apa saja yang diperlukan pendengar. Jadi bukan berdasar perkiraan atau asumsi belaka. Juga dapat diketahui berapa karyawan yang diperlukan. Tidak seperti di zaman saya bertugas dulu, stasiun RRI di seluruh Indonesia punya karyawan rata-rata di atas 100 orang. Sebagai perbandingan, sebuah stasiun radio daerah di Swedia hanya punya karyawan 38 orang.

Acara interaktif juga melibatkan cucu adik isteri saya, Radit, yang menjadi juara 2 Bintang Radio RRI Banjarmasin. Jadi saya, walaupun orang Minang, adalah juga kakek atau "Kai" si Radith. Suasana pun menjadi lebih meriah dengan kehadiran penyanyi belia yang sedang berjuag meniti karier itu.

Satu jam di RRI Banjarmasin pukul 1100-1200 membangkitkan kenangan ketika bertugas dulu yang penuh suka duka, berpanas berhujan, tidur di atas meja kantor karena kemalaman tidak ada lagi angkot. Imbalannya ada banyak kesenangan mulai dari ikut rombongan menteri atau presiden ke daerah-daerah, bekerja di negeri Belanda 2 tahun dan naik haji abidin tahun 1995. Tentu saja yang paling penting mendapatkan jodoh di Banjarmasin melalui kegiatan MTQ Nasional tahun 1970.

Pesan untuk teman-teman di RRI Banjarmasin: teruslah berjuang dalam keadaan sesulit apa pun peiharalah Tri Prasetya RRI dan gelorakan semangat "Sekali di Udara Tetap di Udara!"

Saya merenung, seandainya RRI menyediakan Unit Riset dalam organisasinya, tentu akan lebih baik. Melalui riset dapat diketahui berapa jam sebetulnya yang diperlukan sebuah stasiun RRI untuk siaran setiap harinya, acara-acara apa saja yang diperlukan pendengar. Jadi bukan berdasar perkiraan atau asumsi belaka.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline