Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Gojek dan Lompatan Budaya Malaysia

Diperbarui: 25 Agustus 2019   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nabiel Makarim, Pendiri Gojek Berpose dengan Mahathir dan Syed Sadiq (Sumber: dailysocial.id/gojek)

Sebuah kabar mengejutkan datang dari negeri jiran. Pemerintah Malaysia secara prinsip mengizinkan Gojek beroperasi di negerinya setelah dibahas dalam rapat kabinet yang disampaikan oleh menteri termuda dalam kabinet Mahathir Syed Sadiq sebagaimana dikutip dari laman detik.com

Beliau menyampaikan bahwa pemerintah akan melakukan peninjauan dan perubahan terhadap aturan hukum yang akan memungkinkan gojek beroperasi dengan tetap memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan berkendara.

Bahkan PM Mahathir pun turut membela keberadaan Gojek yang dinilai bakal membangkitkan ekonomi masyarakat terutama bagi kaum mileniial. Seperti dikutip dari detik.com di sini, Mahathir mempersilakan rakyat Malaysia untuk menggunakan Gojek atau tidak. "Jika Anda tak merasa aman, jangan digunakan. Anda mempunyai pilihan. Kami tak memaksa siapa pun untuk menggunakan layanan ride hailing berbasis motor," ujarnya.

Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi, salah satunya dari pengusaha taksi Shamsubahrin Ismail, pendiri perusahaan Big Blue Taxi Services, seperti dikutip dari suara.com. Komentarnya sedikit menyindir bahwa Gojek di Indonesia berhasil karena banyak rakyatnya yang masih miskin, sementara dari sisi budaya juga berbeda.

Kabar tersebut tentu benar-benar mengejutkan, tidak hanya bagi warga negeri jiran tapi juga kita di Indonesia. Selama ini Malaysia dikenal tegas melarang angkutan roda dua alias ojek beroperasi di wilayahnya karena rasio tingkat kecelakaan yang tinggi 42,5 kali dibanding bis dan 16 kali dibanding mobil. 

Saya sendiri selama berpetualang menjelajah Malaysia, belum pernah menemukan satupun ojek beroperasi di daerah perdesaan, apalagi di kota besar macam KL atau Johor.

Di sisi lain, masyarakat lokal terutama etnis Melayu cenderung gengsi untuk menjadi pekerja kasar seperti menjadi tukang ojek. Mereka lebih memilih menganggur daripada harus menjadi pembantu atau tukang batu. 

Oleh karena itu tidak heran kalau banyak pekerja kasar berasal dari etnis India atau Tionghoa. Malaysia juga menjadi surga bagi pekerja asing yang rela menjadi pekerja kasar, baik legal maupun ilegal. Mereka datang tak hanya dari Indonesia saja, tapi juga Bangladesh, Nepal, India, Sri Lanka, Kamboja, Filipina, dan Myanmar untuk mengadu nasib di negeri ini.

Inilah mungkin yang dikhawatirkan sebagian masyarakat Malaysia. Alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, keberadaan Gojek nantinya justru akan memancing datangnya tenaga kerja asing untuk menjadi tukang ojek online. Apalagi rata-rata orang lokal sudah punya kendaraan pribadi sehingga layanan ojek tidak terlalu dibutuhkan. 

Motor sendiri bukan kendaraan favorit di Malaysia seperti yang saya saksikan selama menjelajah di negeri jiran tersebut. Jarang sekali terlihat orang lokal ramai-ramai naik motor seperti tampak di perempatan jalan. 

Paling terlihat satu dua motor saja nyelip di antara mobil-mobil yang mengantri lampu merah di perempatan. Bahkan sangat jarang motor melintas di jalan tol walau di sana diperbolehkan. Kebayang kalau di Indonesia motor boleh lewat jalan tol, seperti apa semrawutnya lalu lintas melihat motor-motor berlomba lari dengan kecepatan tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline