Lihat ke Halaman Asli

Feature Human Interest: Setelah Putih Abu-abu

Diperbarui: 22 Juni 2021   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Dinissa Azhari

Sambil duduk bersandar dan bersenda gurau. Perempuan itu, mengembangkan senyum manisnya. Melintasi bayang kegagalan dan penyesalan dalam ingatannya. Mengisi perbincangan yang berputar pada kenangan. Dari ruang tamu, di tengah obrolan kami, sebut saja Gita, ia bercerita mengenai idealismenya lewat jalan kehidupan.


Perempuan lulusan SMA itu terlihat gundah sambil melangkah, "Lelah," katanya. Tak juga menyeka keringat yang terus bergelayut di pelipisnya. Dengan pakaian hitam putih, sambil memeluk map coklat karena belum juga ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Gita terpaksa melakukannya. Mau bagaimana? situasi ini memang tak diinginkannya. Gita tak sendiri, ia berjalan bersama saudara kembarnya, Regi, mereka berjuang bersama. Sudah tak kuat melangkah, ia mencoba menghubungi temannya untuk menjemputnya pulang bersama Regi.


Sekian banyak pekerjaan yang dilamarnya, tak ada satupun panggilan yang diterima. berhari-hari menunggu. Pada akhirnya Gita & Regi memilih lewat jalan pintas. Agar lebih cepat bekerja, mereka menggunakan 'orang dalem', begitu biasa orang menyebutnya. Begitu diterima di salah satu pabrik lewat lembaran kertas merah milik orangtuanya, Gita merasa salah tempat. "Salah banget," imbuhnya. "Saya merasa ga enjoy, Saya ga bahagia. Tempat pabrik Saya ini berat dan kejam. Bahkan saya udah stimulus di otak 'Pikirin aja gajian Ta, Pikirin gajian, tahan, tahan," ujarnya dalam perbincangan. Berangkat pagi, pulang sore. Bahkan baru jam 8 malem Gita sudah tertidur kelelahan.


"Belum lagi yang di bentak sana-sini. Di kerjain ini-itu. Pokoknya parah, dan dari sini saya tau makna dari kata BABU, ahahaha...," gelaknya sambil menerawang. Setelah bertahan selama 3 hari perempuan itupun keluar dari pekerjaannya, "Saya menyerah," putusnya. Tentu dibarengi dengan kembarannya, Regi. Mereka sama-sama merasa tak berdaya berada di antara manusia di lingkungan yang kejam. Gita dan Regi merasa diperlakukan seperti robot.


Semua orang merasa kecewa dengan keputusan Gita dan Regi. Bahkan rumor saudara kembar itu, yg masuk pabrik lewat lembaran uang lalu keluar setelah 3 hari kerja, sampai terdengar oleh tetangga. Mereka dighibahi sana-sini, di tanyai ini-itu. "Rasanya waktu itu saya pengen hilang, lenyap atau setidaknya gak keliatan," begitu Gita frustasi. Perubahan sikap orangtua pun mulai terlihat. Jelas. Mereka kecewa.


"Ocehan tetangga emang bikin sakit, cuma yang lebih sakit lihat orangtua saya kecewa," begitu katanya. Gita merasa menjadi beban, dan menjadi anak yang tidak berguna. "Pokoknya rendahan paling rendah, berdosa banget," sesalnya. Perempuan itu berada di tengah-tengah perasaan. "Di satu sisi, saya lega udah keluar dan engga kerja di tempat itu, tapi di sisi lain saya merasa bersalah udah ngecewain semua orang, terutama orangtua," bimbang perasaannya.


"Hal yang paling Saya inget ketika kelas 12 SMA, Anak-anak pada suka nanya 'Gita mau gimana? Gita setelah lulus mau ngapain?', tapi dengan ringan pasti selalu Saya jawab 'iya Saya ikut SBMPTN, tapi Kalau tidak lolos, saya akan kerja,'" ia sangat berpikir realistis waktu itu. Bila tidak mendapatkan  yang ini  masih ada yang itu. Kalau jalannya bukan yang ini, berarti jalannya yang itu. Ia membiarkan semua mengalir begitu saja. "Saya pengen hidup yang bawa Saya," ujarnya.


Setelah lulus dan pengumuman 'SBMPTN' waktu itu, muncul sebuah masalah. Berita baiknya Gita lulus, berita buruknya jalan yang ia pilih memang dari awal tidak memiliki restu karena jarak tempat kuliah. "Balik lagi saya berpikir, 'Oh mungkin ini jalannya, mungkin ini yang terbaik.'" Gita merasa tidak kuliah memang sudah jalannya. Ia berhenti sampai di situ. Ya, itu dulu, setelah merasakan dan tahu persis apa itu makna dibalik kata 'kerja', Gita mulai berfikir, ia belum siap, entah dari mental ataupun pada letak kemampuannya. Jadilah hal tersebut sebagai dorongan motivasi untuknya kembali belajar. Ia ingin kuliah.


Bukan maksud melawan arah takdir, hanya, mengikuti arah tanpa tau tujuan bukankah hal yang sia-sia? bagaimana jika di ujung sana adalah jalan buntu, atau bahkan jurang? apakah kita akan tetap ingin terjun dan mati dengan mengenaskan? tidak. Jawaban yang tepat adalah kembali ke titik awal, mulai dari merancang tujuan, agar dapat diperjuangkan. Menciptakan ranah peta yang akan kita tuju, agar tidak bertemu jalan buntu. Pikirkan apa yang sebenarnya kita inginkan. Bila satu jalan sudah tertutup, masih banyak jalan lainnya. Bila satu pintu tertutup, temukan kuncinya.


Gita berhasil menemukan tujuannya. Setelah terpuruk pada takdir yang mengujinya. Gita memiliki keinginan berjuang kembali untuk bisa kuliah, kali ini ia lebih berusaha dengan sungguh-sungguh. Sementara menunggu salah satu tes kuliah yaitu SBMPTN, Gita tidak menyianyiakan waktu. Ia lebih dulu mengikuti berbagai macam tes kerja, kecuali cari kerja di pabrik 'lagi'. "Trauma," katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline