Bersyukurlah kita tinggal di negara +62 ini. Ya, walaupun masalah yang datang bertubi-tubi tetapi kita tetap bisa hahahihi sambil sambat. Karena sering sambat, beruntungnya negara kita mempunyai angka bunuh diri paling rendah dibandingkan dengan 4 negara seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Finlandia. Dilansir dari Global Health Estimates dari WHO (2021), angka bunuh diri di Indonesia memiliki rasio 2,6 per 100.000 penduduk. Angka ini berada jauh di bawah rata-rata global sebesar 9 per 100.000.
Namun, kita jangan terlalu berbangga hati, angka ini tidak bisa menjadi patokan bahwa psikologis masyarakat Indonesia bagus. Kita juga tahu sepanjang hari, hidup manusia menemui masalah dan penuh ketidaksempurnaan. Normal manusia pasti merasakan sedih, tertekan dan kecewa. Oleh karena itu, setiap kita membuka media sosial, pasti menjumpai status dan story teman, keluarga bahkan strangers yang isinya tentang curhat alias sambatan atas beban hidup. Tak hanya itu, bahkan orang-orang di zaman sekarang juga mengunggah quote galau bahkan meme kocak untuk mengurangi stres di pikiran.
Sambat sebagai pintu keluar dari stres
Mengeluh juga dikenal sebagai sambat. Sambat merupakan budaya interpersonal. Bukan hanya curhat saja, tapi juga menjadi langkah awal coping mechanism. Coping mechanism tidak hanya untuk masalah eksternal tetapi juga internal seperti bipolar, depresi dsb. bagi mereka sebenarnya ingin ke psikolog namun karena takut dijudge duluan atau merasa biayanya mahal, jadi ya pilih sambat di media sosial. Bisa juga memilih sambat ke keluarga atau ke teman. Ini sejalan dengan data dari Susanti et al. (2022) dalam Lancet Regional Health Southeast Asia, bahwa hanya 0,3% warga Indonesia yang pernah mengakses layanan profesional kesehatan jiwa.
Sambat dulu di whatsapp dan instagram (sumber : ilustrasi oleh chatgpt.com/22-06-25)
Angka bunuh diri rendah juga dipengaruhi resiliensi yang bagus
Salah satu faktor penyebab rendahnya angka bunuh diri di Indonesia yaitu tingkat resiliensi masyarakat indonesia yang cukup bagus. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan bangkit kembali dari tekanan atau kesulitan. Kita patut bersyukur Indonesia memiliki tingkat resiliensi yang lebih bagus dibanding tingkat resiliensi di negara-negara barat. Hal tersebut dilansir dari studi Connor & Davidson Resilience Scale (CD-RISC) milik Yu & Zhang (2007 dan Windle et al., (2011). 3 penyebab resiliensi baik terdiri dari : spiritualitas kuat, lingkungan yang suportif dan solidaritas unggul dalam menyediakan dukungan sosial.
Apa resiliensi itu harus selalu kuat dan tak pernah bersedih? jawabannya tidak. Wajar ketika tertimpa masalah, mental down, kecewa dan bersedih. Kadang juga mengalami insekyur dan sesaat menyahkan keadaan. Namun, tidak boleh larut dalam kesedihan terlalu lama atau insekyur berlebihan. Kita harus bersyukur, tetap optimis dan bangkit kembali merangkai strategi untuk lepas dari beban hidup. Resiliensi juga berarti sebagai bentuk adaptasi terhadap ketidakpastian.
Humor dan solidaritas sosial juga perlu
Sambil menerapkan resiliensi, kita juga butuh humor supaya pikiran kita tetap waras. Ini bukan sebagai bentuk pelarian dari masalah. Namun, ini sebagai bentuk ketahanan batin. Misal nih dalam krisis dan polemik yang terjadi sekarang, kita membuat meme. Ya, intinya supaya kita tetap tertawa walau sejenak saja. Solidaritas sosial pun memainkan peran penting. Menurut studi Purnamasari et al. (2020),dukungan sosial informal dari teman, keluarga, bahkan komunitas daring berpengaruh signifikan dalam menurunkan risiko bunuh diri khususnya pada generasi muda.