Lihat ke Halaman Asli

Adrian Diarto

TERVERIFIKASI

orang kebanyakan

Puisi | Bulan di Atas Pohon Palem

Diperbarui: 14 Agustus 2019   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri.

Seekor kucing berlari tanpa suara, menginjak rumput-rumput yang menguning disengat kemarau yang enggan membagi hujan.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan peristiwa menjadi sebuah kenangan? Dua puluh tahun?" tanyamu siang tadi.

Ah, kalimatmu terlalu panjang untukku. Aku hanya dapat mengingat sesederhana pohon palem yang menunggu bulan melintas di sunyi malam.

Memang lampu menyala dari rumah bertiang kayu nangka, dan sinarnya seketika menghambur ke halaman berumput seperti anak-anak TK berlarian sebelum dengung bel pulang melemah dan hilang.
 
Tetapi toh terang tidak membuat malam menjadi lebih riuh. Ia tetap saja membiarkan gemerincik air di tepi kolam terdengar jelas, dan malam hanya berdiri di tepian. Seperti biasa.

"Bukankah tahun hanya waktu yang diangkakan supaya terhitung?" jawabku dalam tanda tanya. Betapa sering kita bersusah menghitung waktu dan mengumpulkan peristiwa, dan kemudian gagal menjadikannya kenangan.

Maka aku memilih bersetuju dengan pohon palem. Pilihannya hanya membiarkan akar menjulur untuk menjadikan daun-daun tetap hijau. Meski bagaimana air meniti batang pohon palem terlalu sulit untuk dipahami. Lalu menanti bulan melintas, dan diam-diam mengagumi eloknya.

"Apakah penantian seperti bulan yang tidak pernah menjadi tua?" tanyaku yang tidak lagi kau dengar.

Langkahmu sudah menjauh, dan malam bergegas rapat menjajar. Menutupmu dari pandanganku.

| Posong | 13 Agustus 2019 | 22.04 |




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline