Lihat ke Halaman Asli

Dewi Sekarsari

Universitas Singaperbangsa Karawang

Fakta Mengejutkan! Inilah Alasan Mengapa UMKM Indonesia Bisa Kalah dari Startup Asing

Diperbarui: 24 Juli 2025   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: UKMINDONESIA.ID

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering disebut sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. Namun, di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital, UMKM lokal justru terlihat tertinggal dibanding startup asing yang masuk dengan teknologi, modal besar, dan strategi pemasaran agresif. Fenomena ini menjadi perhatian serius, terutama ketika produk-produk luar mulai mendominasi pasar lokal.

Tidak sedikit pelaku UMKM yang mengeluhkan menurunnya omzet dan loyalitas pelanggan akibat tergesernya produk mereka oleh aplikasi dan layanan berbasis teknologi dari luar negeri. Pertanyaannya: mengapa ini bisa terjadi di negeri sendiri? 

1. Ketimpangan Akses Modal dan Teknologi
Salah satu alasan utama UMKM tertinggal adalah minimnya akses terhadap pendanaan dan teknologi. Startup asing masuk dengan miliaran rupiah dari investor global dan langsung menerapkan teknologi terkini: mulai dari AI, big data, hingga sistem distribusi berbasis algoritma. Sementara UMKM lokal masih berkutat dengan sistem manual dan keterbatasan modal operasional harian.

2. Minimnya Literasi Digital Pelaku UMKM
Banyak pelaku UMKM di Indonesia belum familiar dengan pemasaran digital, e-commerce, atau strategi branding online. Berbeda dengan startup asing yang sejak awal dibangun dengan pendekatan digital-native, UMKM lokal sering kesulitan membangun kehadiran online yang kuat, terutama di media sosial dan marketplace besar.

3. Regulasi yang Belum Ramah UMKM
Ironisnya, regulasi pemerintah kadang lebih cepat mengakomodasi pemain besar ketimbang memberdayakan pelaku lokal. Contohnya, aturan soal pajak digital atau perizinan seringkali lebih mudah diakses oleh perusahaan besar dengan tim hukum sendiri, sementara UMKM kerap kewalahan menghadapi birokrasi.

4. Kurangnya Ekosistem Kolaboratif Lokal
Startup asing biasanya datang dengan jaringan partner, mentor, dan inkubator bisnis global. Di sisi lain, UMKM lokal sering berjuang sendirian tanpa ekosistem pendukung yang solid. Ketiadaan kolaborasi antar pelaku UMKM membuat mereka sulit tumbuh bersama dan saling bantu menghadapi tantangan pasar.

5. Branding dan Desain Produk yang Kurang Menarik
Tidak sedikit produk UMKM berkualitas tinggi, namun gagal bersaing karena tampilan kemasan atau pendekatan branding yang ketinggalan zaman. Startup asing tahu betul pentingnya desain, storytelling, dan pengalaman pengguna---hal-hal yang masih belum menjadi prioritas sebagian besar UMKM kita.

6. Harga yang Tidak Kompetitif
Dengan skala produksi besar dan teknologi efisien, startup asing mampu menawarkan harga yang jauh lebih murah. UMKM lokal yang masih produksi manual atau dalam skala kecil kesulitan bersaing dari segi harga, apalagi jika konsumen hanya berpikir pragmatis soal nominal, bukan dampak jangka panjang terhadap ekonomi nasional.

7. Perubahan Perilaku Konsumen yang Terbiasa Instan
Konsumen Indonesia kini terbiasa dengan kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi asing. Pembayaran digital, pengiriman kilat, dan sistem poin loyalitas membuat mereka semakin sulit berpindah ke produk UMKM lokal yang belum bisa menyaingi fitur-fitur tersebut.

8. Kurangnya Pendampingan Berkelanjutan dari Pemerintah
Program pelatihan UMKM yang dilakukan pemerintah sering bersifat satu kali atau tidak berkelanjutan. Padahal, pelaku UMKM membutuhkan pendampingan jangka panjang---bukan hanya dari sisi teknis, tapi juga strategi bisnis, digitalisasi, dan pengelolaan keuangan.

9. Eksposur Media yang Minim
UMKM lokal jarang mendapat sorotan media, sementara startup asing sering diulas dalam artikel teknologi, masuk berita utama, bahkan disponsori influencer. Ketimpangan eksposur ini membuat persepsi publik terbentuk secara tidak adil---seolah hanya merek luar yang layak dipercaya.

10. Tidak Ada Perlindungan Pasar Lokal yang Kuat
Banyak negara menerapkan proteksi tertentu untuk menjaga industri lokal. Indonesia, sayangnya, masih lemah dalam hal ini. Akibatnya, startup asing bisa leluasa masuk tanpa batas, menggerus pasar UMKM yang belum siap bersaing secara global.

UMKM Indonesia bukan tidak mampu bersaing, tetapi mereka masih dibatasi oleh berbagai kendala struktural dan sistemik. Jika dibiarkan, dominasi startup asing  membuat perekonomian nasional menjadi bergantung pada pihak luar. Kita harus menyadari bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari pemberdayaan pelaku usaha lokal secara serius. Diperlukan kolaborasi nyata antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang adil dan inklusif bagi UMKM. Kita tidak bisa terus membiarkan mereka bertarung sendirian dalam medan yang tidak seimbang. Kini saatnya memilih: menjadi penonton di negeri sendiri, atau membangun kekuatan ekonomi dari bawah, untuk masa depan yang lebih mandiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline