Lihat ke Halaman Asli

Deddy Husein Suryanto

TERVERIFIKASI

Content Writer

Pentas "Grafito" dari Teater Cowboy yang Masih Relatable dengan Situasi Sosial Masa Kini

Diperbarui: 22 September 2019   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster Grafito karya Akhudiat yang dipentaskan oleh Teater Cowboy. (Dokpri/pan&IG/teatercowboy)

Bagi penyuka teater, setidaknya sudah mengenal pertunjukan teater selama 3-4 tahunan, biasanya akan langsung kenal dengan istilah Grafito. Karena, itu adalah sebuah naskah yang biasanya dipentaskan di perteateran di Indonesia. Memang, kebanyakan naskah ini dipentaskan di Jawa dan lingkungan akademis (kampus dan SMA), khususnya di Jawa Timur. Kebetulan juga penulis naskahnya juga tinggal di Jawa Timur, tepatnya di Surabaya, Akhudiat.

Akhudiat adalah salah seorang pelaku teater Jatim yang lebih dikenal sebagai penulis naskah dan sastrawan. Naskah teaternya sudah banyak dan juga tentunya sudah banyak dipentaskan. Salah satu naskahnya yang populer untuk dipentaskan adalah Grafito.

Buku antologi naskah lakon/teater milik Akhudiat. (Kebudayaan.kemendikbud.go.id)

Naskah ini menceritakan tentang perjalanan kisah cinta antara Limbo dan Ayesha. Konon, percintaan ini mendapatkan pergolakan, dikarenakan adanya perbedaan latar belakang di antara keduanya. Perbedaan yang sangat mudah ditebak, yaitu perbedaan agama.

Situasi ini jelas semakin banyak terjadi di masa kini. Karena faktor jaringan pertemanan yang semakin luas akibat keberadaan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Sehingga, pertemanan pun bisa disebut sudah tercipta tanpa sekat. Tidak ada lagi yang hanya berteman secara seagama melainkan lintas agama, dan di dalam pertemanan itulah biasanya dapat muncul pula rasa cinta.

Namun, sayangnya dengan kemajuan teknologi dan perkembangan pola pertemanan yang sedemikian rupa ternyata tidak diikuti dengan pemakluman terhadap cinta beda agama. Walau kita sebenarnya masih bisa melihat pasangan-pasangan beda agama yang tetap mampu melangkah ke pelaminan, tetap saja hubungan tersebut selalu diiringi dengan perjuangan yang berat. Karena, masing-masing pihak masih berusaha menyakini bahwa pernikahan yang beda agama akan menyulitkan rahmat (pertolongan) dari Tuhan -melalui para tokoh agamanya.

Adegan Limbo yang berupaya meyakinkan cintanya terhadap Ayesha yang tidak direstui sang Pastur. (Dokpri/DeddyHS_15)

Para tokoh agama berusaha kukuh terhadap ajaran agamanya yang entah mengapa seperti harus dijalankan tanpa harus bisa dimengerti -ada dialog dari tokoh Kyai di naskah Grafito saat berdebat dengan Ayesha. Begitu pula dengan pembatasan diri terhadap eksplorasi berpikir bahwa mereka yang sudah menyelami ajaran agama cenderung menahan diri dalam ranah perdebatan -ada di dialog Pastur saat berdebat dengan Limbo. Situasi ini tentu memilukan bagi mereka yang memang sedang berada di kawah madu cinta dan berusaha melupakan sekat yang bernama agama. Karena, yang mereka yakini adalah kebaikan pasangannya, bukan kebaikan yang berdasarkan agama.

Tentu hal ini dapat dipikirkan secara logis, bahwa setiap pertemanan tentu tidak bertanya tentang apa agama kita. Melainkan (kebaikan) apa yang biasanya kita lakukan dan itulah yang membuat orang di dalam lingkup pertemanan bisa menaruh simpati kepada orang lain. Bahkan juga bisa menaruh rasa cinta. Karena, melalui kebaikanlah setidaknya kita dapat mengukur lebih mudah tentang bagaimana orang itu ketika berada di dekat kita dan ini akan cukup sulit diterka jika hanya berdasarkan agama.

Contohnya, ketika si A bertanya tentang apa kegiatan si B sehari-hari, lalu dijawab bahwa si B selalu beribadah tepat waktu. Bagaimana interpretasi si A terhadap jawaban itu? Memang, ini akan menggambarkan bahwa si B adalah orang yang taat dan tentunya disiplin. Namun, si A tentu akan kesulitan untuk menginterpretasikannya tanpa ada wujud lain yang lebih mudah untuk dilihat langsung. Misalnya jika si B menjawab bahwa dirinya selalu membantu ibunya menyiapkan sarapan keluarga di pagi hari. Maka, si A akan dengan lebih mudah mengetahui bahwa si B memiliki kepatuhan dan rasa sayang kepada orangtua dan keluarganya di dalam praktik yang sama.

Artinya, praktik kebaikan yang dilakukan manusia untuk manusia akan lebih mudah untuk disukai. Karena, pada akhirnya yang sangat membutuhkan kebaikan ya manusia itu sendiri. Sehingga, dari sini kita dapat melihat bahwa cinta biasanya akan lebih mudah tumbuh dan terjaga berdasarkan hal-hal yang demikian, hal-hal yang terlihat sederhana namun terkesan tepat sasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline