Lihat ke Halaman Asli

Deddi Ajir

Alumni Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang

Pulang ke Asalnya

Diperbarui: 5 Oktober 2025   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pulang ke Asalnya

Cerpen oleh Deddi Ajir

Langit di atas Danau Maninjau masih kelabu ketika Pak Ruhin menyalakan sepeda motornya yang sudah renta. Asap putih mengepul pelan dari knalpot, seperti embusan napas dari mesin yang lelah, namun setia. Dingin pagi yang menusuk tak dihiraukannya. Ia sudah terbiasa dengan jalan yang licin oleh embun, dengan tikungan sempit di sepanjang kelok.

Sudah hampir dua dekade ia mengantar orang pulang---bukan hanya ke rumah mereka, tapi ke asal mereka. Ia bukan sopir resmi ambulans, bukan juga petugas dari rumah sakit. Tapi di kampungnya yang berada di perbukitan Agam, setiap kali ada jenazah datang dari rantau---dari Jakarta, Pekanbaru, atau Batam---nama yang pertama disebut adalah namanya.

"Biar Ruhin yang antar sampai kubur," begitu kata orang kampung.

Entah sejak kapan peran itu melekat padanya. Mungkin sejak hari ketika istrinya, Nurlela, wafat dalam kecelakaan bus di Lembah Anai. Rumah sakit kota menawarkan ambulans gratis, tapi Ruhin menolak. Ia sendiri yang membawa tubuh istrinya pulang, melintasi jalanan curam yang mereka kenal bersama sejak muda. Ia tahu persis, hanya dirinya yang bisa berhenti di tempat Nurlela biasa duduk memetik daun sirih, atau membacakan tahlil perlahan melewati surau tempat mereka menikah secara sederhana dahulu.

Sejak itu, orang mulai datang padanya. Diam-diam, ia jadi penuntun pulang bagi mereka yang sudah tak bisa berkata-kata.

Penumpang-Penumpang Terakhir

Motor tuanya tak hanya mengantar jenazah. Pernah ia mengantar seorang ibu muda yang baru pulang dari Malaysia, perutnya besar dan suaminya entah di mana. Pernah juga seorang bayi dibungkus kain panjang dititipkan padanya---anak perantau yang tak sempat pulang, hanya bisa menitip pesan lewat suara yang pecah di ujung telepon.

"Bawa anak saya ke rumah Mak di Sungai Batang, Pak Ruhin. Jangan salah rumah, ya. Di depan pohon mangga besar, yang ada ayunan tali."

Ia selalu hafal rumah-rumah tua itu. Ia tahu mana rumah yang dapurnya dulu selalu penuh aroma rendang di hari raya, mana yang dulu sering ia datangi waktu kecil untuk mengaji. Wajah-wajah tua yang kini keriput dan berjalan lambat, pernah jadi bagian dari masa kecilnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline