Lihat ke Halaman Asli

Arif Sambodin

Jangan membenarkan Kebiasaan, biasakanlah bekerja dengan benar.

Bena-benua Etam ing Martadipura

Diperbarui: 25 Oktober 2019   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin sebagian orang yang membaca tulisan judul di atas masih bertanya tanya, apa sih maksudnya "Bena Benua Etam ing Martadipura"? Oke untuk lebih detail agar tidak penasaran lebih jauh, mari kita terjemahkan kata kata dari bahasa kutai dan bahasa sangsekerta ujarnya. 

Bena Benua Etam yakni Care About Our Region (Pedulilah Daerah Kita) dan ing Martadipura  berasal dari kejadian abad ke -- 16, Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. 

Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi salah satu lokasi ibu kota baru Republik Indonesia. Presiden Joko Widodo, Senin (26/08/2019) siang, mengumumkan setelah melalui serangkaian kajian, pemerintah menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru.

Realitas mendasar pertama membawa semua urusan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semua perkara yang berkenaan dengan pemerintahan dan kekuasaan telah ditetapkan secara jelas oleh Hikam Allah dalam KitabNya yang mulia dan dalam tindakan tindakan dan keputusan utusanNya yang mulia dan dalam tindakan dan keputusan utusanNya, Shalallahu 'alaihi wa Sallam, Nabi Penutup, selama beliau hidup. 

Ketika itu, dengan mukjizat sebuah kota yang kemudian diberi nama Madinah Al Munawarah, tempat yang diberkahi untuk Dien. Adalah Sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa Sallam, yang diamalkan di antara umatnya yang membangun masyarakat Islam, bukan sebagai impian masa depan yang tertunda sampai Hari Kiamat, tetapi sebagai model hidup untuk membangun masyarakat baru dan dinamis dari kesejahteraan spritual dan sosial yang beliau, Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan para Sahabat telah capai, dalam buku Sultaniyya (Pustaka Adina, 2014).

Hari ini, dalam sistem riba yang merajalela ini, kesejahteraan -- atau tepatnya kesulitan dan penderitaan orang -- justru dijadikan komoditi. Terbalik dari perintah Allah Subhanahu wata'ala dan ajaran Rasul Shallahu 'alaihi wasalam, jaminan kesejahteraan sosial telah menjadi kegiatan komersial. 

Dan bukan saja ia menjadi komersial melainkan telah menjadi bagian dari instrumen dan industri riba, yang paling massal da sistematis tentu saja adalah program asuransi, termasuk yang diwajibkan, yang diwadahi dalam BPJS  (Badan Penyelenggara Jaminan Kesejahteraan). 

Asuransi ini mencakup aspek yang luas dari kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, perjalanan, sampai bahkan pemeliharaan harta pun diasuransikan!, dalam buku Baitul Mal Model Kesejahteraan Sosial di Zaman Rasul dan Sahabat (Pustaka Adina, 2019).

Pembahasan ini merupakan ajakan untuk menginterpretasikan model pengelolaan kesejahteraan yang tidak birokratis yang ada pada masa masa awal Islam. Ini untuk mengimbangi penilaian yang agak menyesatkan tentang masalah tersebut yang disebarluaskan saat ini, dengan sebutan seperti "Negara Kesejahteraan dalam Islam" (The Welfare State in Islam) atau "Sistem Sosial Islam". 

Menurut pendapat Asadullah A. Yates, Ph. D bahwa kesejahteraan tidak dapat diperlakukan sebagai masalah individual, melainkan harus dilihat sebagai aspek kesehatan tubuh umat Islam secara keseluruhan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline