Beberapa hari lalu akhirnya untuk pertama kali dalam hidup, saya (bersama teman) membeli G-String . Bayangkan, setelah hidup selama ¼ abad lebih ( lebihnya buanyak :D )....ini pasti record buat perempuan urban, haree gene belom pernah punya G-String? [caption id="attachment_180284" align="aligncenter" width="401" caption="dok: pribadi"][/caption] Melihat beberapa G-String ini malah membuat saya menghela nafas mengingat alasan membelinya bukan alasan yang sexy sama sekali. Semuanya berawal saat saya menyadari bahwa sudah cukup lama saya tidak saling menyapa dengan seorang sobat sejak di bangku kuliah lalu. Biasanya kami bertukar sapa di Facebook, biarpun tidak tiap hari tapi itu cukup menyenangkan dan menenangkan. Akhirnya saya menelpon dan menanyakan kabarnya. "Elo ngimpi apa semalam Dee..., kok feeling so good amat?" Saya cuman bisa, #@!%. "Gue abis kena musibah. Sekitar tiga minggu yang lalu, jatuh ke waskom isi air panas dan membuat seluruh kulit tubuh bagian belakang serta kedua siku melepuh," demikian dia menjelaskan. Sayapun bertanya lebih jauh mengenai awal musibah itu juga kelanjutannya. Teman saya tersebut awalnya sekedar menjalani treatment ratus (yakni penguapan organ intim dengan ramuan-ramuan herbal yang direndam dalam air yang usai dididihkan). Dia biasa memanggil seorang perempuan yang memang pekerjaan melakukan treatment perawatan kewanitaan dari rumah ke rumah. Teman saya cukup menyediakan waskom dan bangku tanpa senderan. Kami biasa menyebutnya sebagai bangku bakso. Treatment tersebut sudah biasa dilakukan oleh mereka. Musibah itu disebabkan karena patahnya kaki bangku bakso tersebut padahal tuh bangku baru aja dibeli. Nah apesnya, dia yang biasanya menjalani treatment dengan kamar mandi yang terbuka karena kamar mandinya kecil, harus menutup tuh kamar mandi sebab si mbak treatment itu membawa suaminya. Jadi pas teman saya terjatuh, mau gak mau dia kecebur pada waskom yang memenuhi ruang kamar mandi, beda kejadiannya jika pintu dibiarkan terbuka. Dia bisa menjatuhkan diri pada lantai kosong di,luar kamar mandi. Mereka segera bergegas ke klinik 24 jam dan dia diberi salep untuk kulit. Keesokan harinya kondisi tidak membaik, kebetulan seorang sahabat berkunjung ke rumahnya, dan langsung membawa ke dokter spesialis kulit yang memberinya pengobatan senilai Rp.1.6 juta. Ternyata beberapa hari kemudian keadaan tidak membaik hingga seorang teman yang kebetulan menengok, langsung mengangkut sobat saya itu ke UGD RSPP dan benar saja dia harus segeera dioperasi . Kulit yang melepuh terluka itu harus dikupas semua dan kemudian menanti proses untuk pertumbuhan kulit penggantinya. Untuk sementara seluruh permukaan kulit di tubuh bagian belakang harus ditutup perban. Masalahnya, teman saya sangat kesakitan saat proses pergantian perban itu. Maka dokternya menyarankan memakai plester khusus yang berharga cukup mahal - Rp. 250 ribu sekali pakai. Dokter berbaik hati memberikan secara cuma-cuma 5 lembar plester itu. Saya bisa membayangkan beratnya beban yang ditanggung sahabat saya, selain kesakitan juga masalah biaya yang tak sedikit. Apalagi seluruh uang tabungan sobat saya dititipkan pada temannya untuk dikelola dan baru ketauan tidak beres pengelolaannya saat sobat saya itu bermaksud memindahkan dananya ke tempat saya bekerja....dana tidak bisa ditarik.
Keesokan harinya, sobat saya itu menelpon, "Dee, gue mau nangis kalo elo gitu caranya. Gue gak mau ngerepotin elo, tau." Rupanya dia baru dari bank dan menemukan dana di rekeningnya bertambah karena kemarin saya langsung transfer sedikit dana ke tabungannya, "Tau ga lo, pas gue di depan ATM mau transfer itu gue juga nangis. Gue cari no rekening elo dari SMS tiga tahun lalu yang masih gue simpan. Gue sampe gemeter liat 3 tahun lalu elo yang bantu gue waktu gue kesusahan. Dan SMS itu gue simpan karena gue ingin suatu saat gue bisa bales budi." Setelah itu beberapa kali saya menengok dia di rumahnya. Ini seperti reuni karena teman-teman yang lain juga datang bahkan dengan Ibu mereka yang salah satunya merupakan teman kuliah Ibu saya. Dalam kesusahan seperti ini kita bisa melihat mana teman sejati. Walaupun itu juga tidak sepenuhnya benar sebab teman yang tak datang atau tak membantu belum tentu bukan merupakan teman sejati sebab kita harus kembalikan pada pribadi kita. Apakah kita juga sudah menjadi teman sejati buat orang lain? Dan pada sobat saya itulah saya bisa bercermin....everybody love her. Rumahnya ramai karena selalu ada yang datang menyambangi dan mereka tidak pernah datang dengan tangan kosong....bahkan setelah 2 bulan musibah itu. Teman-teman selalu datang menyambangi. Dari ceritanya, saya tau bahwa teman-teman bergotong royong menanggung biaya operasi dan rumah sakit, sebelum asuransi kesehatannya yang ternyata tidak full keluar. Teman-teman juga yang mengurusi proses klaim asuransi yang ternyata ribet. Yang lain menjadi supir yang setia mengantarnya untuk penggantian perban dan kontrol. Seorang teman yang sebenarnya secara financial juga sedang kesusahan menawarkan tenaganya, "Sob, gue ga bisa bantu secara materi. Tapi biarkan gue tinggal di sini merawat elo, gue yang akan mandiin elo. Gue juga yang akan bersihin elo abis pup (memang teman saya itu memerlukan bantuan orang lain jika akan buang air)." Lagi-lagi kami yang mendengar perkataan itu cuma bisa mengusap airmata. "Karena musibah ini, besar banget hikmah yang gue terima, teman-teman selalu ada dan membantu." Maka di sinilah saya bersama seorang teman berdiri. Di muka deretan G String itu - sebab celana dalam biasa yang menutup seluruh bagian belakang itu sekarang menjadi hal yang menyakitkan buat teman saya. G String diperlukan agar teman saya tetap beraktivitasi dengan nyaman.