Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Menulis Itu Mudah tetapi Sulit

Diperbarui: 6 Juni 2019   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Di dalam majalah Panji Masyarakat No.20 Tahun II, 2 September 1998, halaman 82, Pracoyo  Wiryoutomo mengulas buku yang saya tulis: "Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (Jakarta: PT Gramediawidiasarana Indonesia/Grasindo, diterbitkan dua kali, pertama tahun 1998 dan 2008, ia menulis:

"Sebuah buku akan berarti bagi pembaca bila memberikan wawasan, gagasan dan pengetahuan baru. Terlebih lagi bagi bacaan kesejarahan, keakurasian fakta dan kronologi peristiwa menjadi kunci utama untuk menarik pembaca."

Kata-kata Pracoyo itu selanjutnya menjadi kunci penulisan buku saya. Bahkan ada beberapa permintaan penulisan buku yang saya tolak dengan halus, karena saya sudah tahu ke mana arah buku yang diinginkan mereka untuk saya tulis.

Tahun 1998, saya menulis tentang Presiden Irak Saddam Hussein. Saya masih ingat kata-kata Pracoyo. Tetapi karena saya pernah ke Irak pada 1992, maka permintaan Duta Besar untuk Indonesia, Yang Mulia Dr Sa'doon J. al-Zubaydi itu, saya sanggupi dengan catatan, ada permintaan khusus saya, harus juga ditulis bab khusus dalam buku tersebut mengenai hubungan Irak-Indonesia. Kemudian duta besar setuju, maka buku tentang Presiden Irak itu, saya tulis. 

"Negara 1001 Malam, " itulah julukan yang diberikan kepada negara yang terletak di antara garis litang 37.25 derajat dan 29.5 derajat, serta garis bujur 48.45 derajat dan 38.45 derajat. Wilayahnya meliputi area seluas 438.446 kilometer persegi dengan areal yang dapat ditanam 75.364 kilometer perdegi. 

Sudah tentu data ini saya cuplik tahun 1998, ketika menulis buku "Saddam Hussein Menghalau Tantangan" (Jakarta: Penebar Swadaya, 1998).

Buku Saddam Hussein ini merupakan catatan saya selama berkunjung ke Irak untuk pertama kalinya pada Desember 1992 ketika negara itu dikucilkan oleh negara-negara Arab lain, karena Irak menyerang Kuwait dan menganeksasi wilayah itu sebagai bagian dari Irak. Pada bulan September 2014, saya ke Irak lagi. Waktu inilah saya merasakan sedih sangat mendalam, karena Irak sudah hancur dan Presiden Irak yang sah sudah digulingkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Saddam pun kemudian tewas di tiang gantungan.

Awalnya ketika terjadi Perang Irak-Iran pada 22 September 1980, AS mendukung Irak. Pada waktu itu,  Indonesia dan negara lain, umumnya negara Dunia Ketiga ikut menentang embargo ekonomi dan udara yang dilakukan AS. Hanya Jordania yang membuka jalan darat ke ibu kota Irak Baghdad. Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas waktu itu cemas dan mengingatkan AS agar tidak menyerang Irak. 

Tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah (B.M.Diah) ikut mengingatkan hal yang sama. Inilah latar belakang mengapa B.M.Diah mengutus saya langsung ke Irak. Jika berdasarkan informasi dari negara maju, sudah tentu memihak AS dan sekutunya. 

Perjalanan saya itu melelahkan, tetapi memuaskan dan menggembirakan. Jadi tujuan saya ke Irak, juga ikut mendukung kepentingan negara Dunia Ketiga. Bayangkan, saya harus ke Jordania terlebih dahulu agar bisa menuju Baghdad melalui jalan darat. 

Melalui jalur udara langsung ke Baghdad waktu itu tidak mungkin karena Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerapkan larangan terbang dari dan ke Irak di kawasan larangan terbang paralel 32 derajat lintang selatan dan 36 derajat lintang utara. Oleh karena itu, siapa pun harus jalan darat darat dari Jordania-Irak dan sebaliknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline