Lihat ke Halaman Asli

Dani Ramdani

TERVERIFIKASI

Ordinary people

Menyikapi Surat Edaran Kapolri tentang Beretika di Ruang Digital

Diperbarui: 25 Februari 2021   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi UU ITE (Foto: Kompas.com/Wahyunanda Kusuma)

Polemik terkait UU ITE masih menjadi perbincangan hangat, beberapa kalangan mengapresiasi rencana pemerintah akan merevisi pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE. Pasal-pasal tersebut dinilai merugikan setiap individu yang mengkritik pemerintah, dan dinilai sebagai pasal yang membungkam kebebasan berpendapat.

Akibat keberadaan pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE, The Economic Intellegent Unit (EIU) mencatat Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam indeks demokrasi dengan skor 6,3. Meskipun tidak ada penurunan perigkat dibanding tahun lalu, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya yaitu 6,48.

Selain faktor covid-19, penurunan indeks demokrasi tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dengan kasus-kasus pelanggaran UU ITE khususnya dalam kebebasan berpendapat. Untuk itu beberapa langkah dilakukan oleh pemerintah selain wacana revisi UU ITE, penegak hukum khususnya kepolisian harus lebih bijak dalam menerima laporan terkait peanggaran UU ITE.

Kapolri beberapa waktu lalu mengeluarkan instruksi kepada jajarannya agar lebih selektif dalam menanganai kasus pelanggaran UU ITE. Selain itu, Kapolri juga menginginkan korban yang melapor sendiri dalam pelanggaran UU ITE, tidak bisa diwakilkan. Hal tesebut ditujukan agar UU ITE tersebut tidak digunakan sebagai alat saling lapor.

Untuk menindaklanjuti instruksi tersebut, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, sehat, dan Produktif. SE tersebut diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 19 Februari 2021.

Apresiasi
Tentunya kita harus mengapresiasi langkah yang dikeluarkan oleh Kapolri tersebut. Surat Edaran tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah melalui kepolisian berkomitmen untuk memperbaiki kondisi demokrasi di Indonesia yang mengalami penurunan. Setidaknya ada 11 poin yang diatur dalam SE tersebut.

Ada beberapa poin yang harus kita apresiasi, setidaknya menurut hemat penulis yang pertama adalah poin d yang berbunyi " dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan penecemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah-langkah yang akan diambil".

Selanjutnya poin e yang berbunyi "sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi"

Kemudian poin g yang berbunyi "penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara"

Terakhir adalah poin i yang berbunyi "korban yang ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangka telah meminta maaf, maka terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali"

Empat poin di atas merupakan pangkal dari pasal karet yang selama ini terjadi. Pertama Polri selama ini tidak selektif dalam menerima laporan dari masyarakat dan tidak bisa membedakan mana kritik, masukan, pencemaran nama baik maupun ujaran kebencian. Sudah menjadi kewenangan kepolisian untuk menerima pengaduan dari masyarakat, namun untuk kasus-kasus UU ITE tentunya harus lebih selektif kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline