Konsep Negara Hukum dalam Islam
Negara hukum dalam Islam bertumpu pada prinsip bahwa hukum bukan semata-mata buatan manusia, tetapi hukum dalam Islam merupakan manifestasi dari ketentuan-ketentuan ilahi yang harus ditegakkan dengan penuh keadilan.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad berperan sebagai seorang pemimpin yang menegakkan "supremasi hukum" tanpa membeda-bedakan status sosial dari individu. Prinsip ini dapat ditemukan dalam berbagai ajaran Islam, baik dalam Al-Qur'an maupun hadis, yang menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan berdasarkan keadilan tanpa pengaruh hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Salah satu peristiwa yang menunjukkan komitmen Nabi Muhammad dalam menegakkan hukum adalah kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang terbukti mencuri. Ketika ada upaya untuk memberikan keringanan karena status wanita tersebut yang merupakan bagian dari anggota keluarga terpandang, Nabi dengan tegas menolak nepotisme dan menegaskan bahwa hukum Allah harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Bahkan, Nabi Muhammad dengan tegas pula menyatakan bahwa jika putrinya sendiri, Fatimah binti Muhammad, mencuri, beliau tidak akan ragu untuk menerapkan hukuman yang telah ditetapkan tersebut. Sikap Nabi ini menunjukkan bahwa supremasi hukum di dalam Islam, harus dijunjung tinggi tanpa ada keistimewaan bagi kelompok ataupun individu tertentu.
Image by Theos Think Tank
Supremasi Hukum dan Larangan Nepotisme
Dalam Islam, hukum (syariah) memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an yang memerintahkan agar keputusan dalam suatu perkara diambil berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, bukan berdasarkan kehendak manusia.
Firman Allah dalam Surah Al-M'idah ayat 49 menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah diperintahkan untuk memutuskan segala perkara sesuai dengan hukum Allah, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu manusia.
Hendaklah engkau memutuskan (urusan) di antara mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadailah mereka agar mereka tidak dapat memperdayakan engkau untuk meninggalkan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS Al-M'idah: 49)
Dalam praktiknya, Nabi pun menolak segala bentuk intervensi yang dapat memengaruhi atau bahkan merusak independensi hukum itu sendiri. Ketegasan beliau dalam menolak memberikan syafaat (pertolongan) dalam kasus pencurian menunjukkan bahwa tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi individu tertentu, apatah lagi hanya karena status sosialnya yang "istimewa". Hal ini menjadi bukti bahwa keadilan dalam Islam harus ditegakkan dengan objektivitas dan tanpa diskriminasi.
Image by IslamiCity