Lihat ke Halaman Asli

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

Jejak Perbudakan di Nusantara: Kisah Pilu Philida dan Wimpel di Negeri Kincir Angin

Diperbarui: 7 Maret 2025   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jejak Perbudakan di Nusantara: Kisah Pilu Philida dan Wimpel di Negeri Kincir Angin (Sumber Gambar: De Telegraaf)

Pada akhir abad ke-17 hingga ke-18, ribuan orang dari Nusantara terjebak dalam sistem perbudakan yang mengakar dalam jaringan perdagangan global. 

Salah satu kisah yang mencerminkan tragedi ini adalah kehidupan Philida van Sambauwa dan Wimpel van Toute Korijn, dua individu yang direnggut dari tanah kelahirannya dan dipaksa menjalani kehidupan sebagai budak di bawah kuasa orang-orang kaya di Hindia Belanda dan Eropa.

Dari Nusantara ke Batavia: Perjalanan Menuju Perbudakan

Philida, yang kemungkinan besar sebelumnya bernama Siti, berasal dari Pulau Sumbawa, sebuah wilayah yang kala itu terlibat dalam perdagangan manusia. Sementara itu, Wimpel berasal dari Thoothukudi (dikenal sebagai Tuticorin), yang terletak di pesisir Coromandel, India.

Keduanya adalah bagian dari sistem perbudakan yang dijalankan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Perbudakan yang dijalankan perusahaan multinasional ini tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja di koloni-koloninya, tetapi juga membawa para budak ke Eropa.

Dalam catatan sejarah, nama asli mereka bahkan telah hilang---digantikan oleh identitas baru yang diberikan oleh tuan-tuan mereka. Ini adalah taktik umum dalam sistem perbudakan: bukan hanya merenggut kebebasan fisik seseorang, melainkan juga menghancurkan akar identitas mereka.

Kedua korban perbudakan ini menjadi bagian dari rumah tangga Coenraad Mels, seorang pejabat tinggi VOC di Batavia, dan istrinya, Maria Nieukerk. Pasangan ini memiliki seorang anak perempuan bernama Maria Amelia, yang lahir pada 1726. Ketika keluarga Mels kembali ke Belanda pada tahun 1731, Philida, Wimpel, dan anak mereka dibawa serta.

Di Negeri Belanda: Bebas tapi Tak Sepenuhnya Merdeka

Setibanya di Republik Belanda, kehidupan Philida dan Wimpel tidak berubah secara drastis. Meskipun perbudakan secara formal tidak diakui di Belanda, kenyataannya orang-orang seperti mereka tetap berada dalam kondisi ketidakbebasan. Mereka hidup "onder hunne hoorsaemheijt"---dalam kepatuhan penuh terhadap majikan mereka.

Kisah ini semakin menarik ketika Maria Amelia, putri Philida dan Wimpel, hendak dibaptis di Loenen aan de Vecht pada tahun 1734. Pendeta setempat merasa ragu---apakah seorang anak dari "orang kafir" bisa dibaptis? Perdebatan ini bahkan sampai ke Batavia, di mana pihak gereja akhirnya menyetujui pembaptisan, asalkan keluarga Mels yang bertanggung jawab penuh atas anak itu.

Namun, kendali atas hidup mereka terus berlanjut. Ketika Maria Amelia dewasa dan ingin menikah, bukan orang tuanya yang memberikan izin, tetapi Coenraad Mels dan istrinya. Di mata hukum Belanda, mantan budak seperti Philida dan Wimpel tetap dianggap tidak memiliki hak atas anak mereka, seperti yang lazim berlaku di Batavia.

Sisa-sisa Perbudakan yang Bertahan Lama

Philida dan Wimpel bukan satu-satunya orang yang menghadapi nasib serupa. Susanna Dumion, seorang perempuan yang datang dari Suriname pada 1753, juga mengalami ketergantungan abadi pada tuannya. Jika ia meninggalkan rumah majikannya, ia akan kehilangan kebebasannya serta tunjangan empat gulden per minggu seumur hidupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline