Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Pengalaman Saat Harus Melahirkan dengan Cara Sesar

Diperbarui: 6 Oktober 2018   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diambil dari dream.co.id

Saya termasuk salah satu ibu yang lebih memilih melahirkan dengan cara spontan atau normal. Bukan, bukan takut kena cap "ibu bla.. bla.. bla.." seperti yang sering didengungkan oleh sebagian emak-emak nyinyir. Namun, lebih kepada ngeri disuntik, takut disayat, dan khawatir dengan masa pemulihan bedah cesar yang konon kata orang-orang lumayan lebih lama.

Itu makanya saat hamil anak pertama, saya selalu mensugesti diri untuk melahirkan secara normal. Alhamdulillah, sesuai harapan, anak pertama dilahirkan dengan cara normal, meskipun sang bidan atau perawat/ners yang membantu persalinan harus membantu saya mengedan dengan mendorong perut bagian atas. Selain itu, tempat bersalin disekitar jadi heboh karena saya tak henti berteriak. Beruntung dokter kandungan dan seluruh staf rumah sakit yang membantu sangat sabar.

Sesuai harapan, saya juga pulih lumayan cepat. Tengah malam melahirkan, paginya saya sudah bisa langsung berjalan, menggendong bayi, bahkan mandi dan membersihkan diri, meski tetap masih ada sisa-sisa rasa "ngilu". Namun, secara keseluruhan saya merasa lumayan baik.

Satu minggu usai melahirkan, saya malah sudah beraktivitas (hampir) seperti biasa, saya bahkan sudah berani bawa motor sendiri, walaupun hanya ke depan komplek yang berjarak beberapa meter dari rumah. Itu makanya saat dipercaya kembali hamil anak kedua, saya kembali berdoa agar bisa melahirkan normal.

Namun setiap persalinan membawa cerita sendiri-sendiri. Meski sejak awal hingga kontrol terakhir dokter mengatakan si calon bayi dalam kondisi sehat, baik, dan posisinya bagus untuk dilahirkan secara normal, tetapi pada detik akhir saya terpaksa harus menjalani persalinan secara cesar.

Setelah menjalani induksi selama hampir delapan jam, tiba-tiba air ketuban pecah dan sudah berubah warna, sementara bukaan lahir tak juga bertambah. Calon bayi yang saya kandung tiba-tiba dinyatakan dalam kondisi gawat janin sehingga harus segera dilakukan operasi sesar. Meski deg-degan, akhirnya saya dan suami mengiyakan untuk menempuh jalan tersebut.

Jangan "Ngeyel" dengan Pendapat Sendiri

Saat saya akhirnya memilih operasi sesar ada saja suara sumbang yang mengatakan, "Ah, bisa-bisanya dokternya aja kali biar cesar, tak mau repot." Saya hanya diam saja, tak menanggapi, toh yang tahu cerita secara keseluruhan hanya saya dan suami, termasuk bagimana karakter dokter kandungan yang menangani saya.

Dokter kandungan yang membantu persalinan saya sejak anak pertama itu sangat pro melahirkan secara spontan/normal. Saat persalinan saya bermasalah, ia pun tidak memaksa untuk sesar, hanya menyarankan, dan memberitahu konsekuensi terburuk yang akan dialami bila saya tetap bertahan untuk melahirkan normal. Bila saya dan suami menolak pun mungkin tidak apa-apa, tetapi risiko tanggung sendiri.

Namun saya dan suami tidak mau mengambil risiko. Itu makanya saya dan suami sangat manut dengan anjuran dokter. Toh yang berpengalaman menangani persalinan adalah dokter tersebut, bukan saya, apalagi suami. Alhamdulillah akhirnya saya dan si (calon) bayi bisa melewati proses persalinan dengan baik.

Setelah berlalu beberapa waktu, ada beberapa teman dan kerabat yang justru mengatakan beruntung saya nurut dengan si dokter kandungan. Menurut salah satu teman, ada kerabatnya yang "ngeyel" dengan pendapatnya sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline