Lihat ke Halaman Asli

Gramedia, Ruang Kerja Papa, dan Pustaka Impian: Sebuah Perjalanan Cinta pada Buku

Diperbarui: 14 September 2025   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi sebagian orang, nongkrong di toko buku bisa jadi alternatif “healing” yang sederhana, namun menyenangkan. Ada aroma kertas dan tinta yang khas, deretan punggung buku yang seolah memanggil, dan suasana yang tenang - semuanya menciptakan ruang aman untuk sejenak melarikan diri dari hiruk pikuk dunia.

Kalau bicara soal toko buku, di Lampung, satu nama yang paling terkenal sudah pasti Gramedia. Tapi, jangan bayangkan Gramedia ada di setiap sudut kota. Toko buku raksasa ini hanya bisa ditemukan di kota besar, terutama di Bandar Lampung. Jarak dari rumahku ke sana? Cukup jauh, sekitar 1,5 sampai 2 jam kalau naik motor.

Dulu, ada sih toko buku lokal yang dekat, namanya Candra Book Store, cuma berjarak 1,5 km saja. Tapi, karena sepi, akhirnya toko itu pindah. Entah kenapa sepi, mungkin pembaca juga sudah bisa menebaknya tanpa perlu kujelaskan panjang lebar.

Jauh sebelum aku mengenal Gramedia dan ritual melipir ke toko buku, ada sebuah cerita yang jadi titik awal perjalananku. Cerita ini bermula dari rumah Papa - orang tua angkatku. Papa seorang seniman dan wartawan.

Suatu hari, aku diajak masuk ke ruang kerjanya. Ruangan itu bukan sekadar tempat beliau bekerja, melainkan sebuah dunia lain. Aku melihat beliau sibuk mendesain dan menulis, sementara aku duduk di sana, mengagumi pemandangan di sekeliling.

Yang membuatku kaget, sekaligus kagum luar biasa, adalah dinding-dinding ruang kerjanya yang dipenuhi rak-rak buku. Pustaka Impian versiku pertama kali muncul di sana. Ada ribuan buku, tersusun rapi, dari lantai hingga langit-langit.

Banyak sekali koleksi buku lawas, majalah Kompas edisi lama, dan buku-buku sejarah yang sudah berwarna kecoklatan. Aku pernah duduk di sana berjam-jam, membuka satu per satu buku-buku itu. Tanpa sadar, aku hanyut dalam cerita-cerita yang usianya jauh lebih tua dariku.

Aku kagum pada Papa. Beliau tidak hanya sekadar mengumpulkan buku, tapi juga merawatnya. Setiap buku punya cerita, punya kenangan. Kekaguman ini menular.

Perlahan tapi pasti, aku mulai jatuh cinta pada aktivitas membaca. Aku mulai menyisihkan uang jajan bulanan untuk membeli buku. Awalnya, karena tak ada toko buku fisik yang layak, aku sering membeli secara daring.

Namun, pengalaman membeli buku daring itu tidak selalu mulus. Ada satu masa di mana aku tergiur harga murah di toko buku lokal yang entah dari mana asalnya. Aku beli beberapa buku. Tapi, suatu hari aku baru tahu, buku-buku yang dijual dengan harga miring itu ternyata buku bajakan. 

Penyesalanku sungguh luar biasa. Rasanya seperti dikhianati. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah lagi, baik membaca maupun membeli buku bajakan. Ada rasa bersalah yang dalam, seolah aku ikut merusak ekosistem literasi yang seharusnya dihargai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline