Lihat ke Halaman Asli

Membaca Kami (Bukan) Sarjana Kertas dan Realitas Pendidikan Kita

Diperbarui: 4 Juli 2025   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami (Bukan) Sarjana Kertas - fiksi yang layak dibaca gen z dan mahasiswa maupun calon mahasiswa. (Sumber Foto: Jawa Pos)

"Ijazah bukan jaminan apa-apa. Memang bisa bermanfaat, tapi tak selamanya kertas selembar itu menjadi penentu nasib baik."

Kalimat itu bukan sekadar kutipan pembuka. Ia adalah tamparan, sekaligus pelukan bagi mereka yang sedang limbung dalam pencarian arti kesuksesan. Sebuah pengingat halus namun tajam, bahwa gelar akademik - meski penting - bukan satu-satunya tiket menuju hidup yang layak dan bermakna.

Sebagai seseorang yang pernah tenggelam dalam obsesi IPK dan lembar transkrip, aku mengamini betapa pendidikan formal sering kali lebih sibuk mengukur angka ketimbang karakter. Kita diajari rumus, tapi lupa diajak mengenal diri. Kita mengejar prestasi, tapi tidak selalu mengerti arti. Dan dari sanalah kekuatan buku "Kami (Bukan) Sarjana Kertas" bermula.

UDEL, Kampus Fiktif yang Terlalu Nyata

Lewat narasi yang kocak, dekat, dan berani, Jombang Santani Khairen atau J.S. Khairen meramu kisah tujuh mahasiswa UDEL - sebuah kampus imajiner untuk para "buangan akademik" - dalam satu rangkaian cerita yang lebih hidup daripada banyak kurikulum. Nama kampus ini mungkin fiksi, tapi isi ceritanya sungguh terasa seperti cermin: jujur, getir, dan sangat relevan.

Ogi, salah satu tokoh utama, mencuri perhatian dengan perjuangannya yang tragis sekaligus inspiratif. Berasal dari keluarga sederhana, Ogi nyaris menyerah - bukan hanya pada kuliah, tapi juga pada hidup. Namun ia, bersama teman-teman sesama "mahasiswa sisa", justru menemukan cahaya lewat kehadiran sosok dosen eksentrik, Bu Lira, yang berbicara dengan cara yang tak biasa, tapi menyentuh: lugas, keras, tapi penuh makna.

"...Sarjana Kertas? Ngerasa hebat di atas kertas, tapi menghadapi dunia nyata malah nggak bisa?"

Kritik tajam itu bukan hanya untuk Ogi dan kawan-kawan, tapi untuk kita semua. Apakah selama ini kita kuliah untuk membentuk diri? Atau sekadar ikut lomba cepat lulus?

Buku ini adalah kombinasi antara satire dan semangat. Ia tidak sekadar menggambarkan kerasnya hidup mahasiswa yang bergulat dengan beasiswa, lembur kerja, atau skripsi yang tak kunjung kelar. Tapi juga memperlihatkan bahwa dalam setiap perjuangan itu, ada nilai-nilai yang tidak bisa dihitung oleh angka: solidaritas, keteguhan hati, dan keberanian untuk melawan keadaan.

Nilai-nilai yang dibawa buku ini tidak usang. Justru semakin relevan di era di mana algoritma dan validasi digital perlahan menggerus nilai kemanusiaan. Lewat cerita yang sederhana tapi membekas, kita diingatkan bahwa:

  • Pendidikan sejatinya membentuk karakter, bukan sekadar pencetak gelar.
  • Teman sejati bisa jadi penyelamat di titik terendahmu.
  • Gagal bukan akhir, tapi bagian dari perjalananmu.
  • Mimpi tetap gratis, tapi membangunnya butuh keberanian yang mahal.
  • Harapan selalu ada, bahkan bagi mereka yang merasa bukan siapa-siapa.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline