Setiap pemasar tahu betapa menggoda untuk mengkotakkan audiens: Gen Z, milenial, kelas menengah, urban, suburban, dan seterusnya. Kotak-kotak ini memberi rasa aman seolah-olah kita memahami siapa yang sedang kita ajak bicara. Tapi kenyataannya, manusia jauh lebih rumit dari itu. Mereka bukan sekadar "Gen Z urban" atau "kelas menengah aspiratif." Mereka adalah makhluk yang dinamis, bisa berubah wajah tergantung situasi, emosi, bahkan jam dalam sehari. Inilah yang melahirkan urgensi konsep dynamic brand segment.
Secara psikologis, identitas manusia bersifat multipel dan kontekstual. Teori identitas sosial menjelaskan bahwa individu membawa banyak label sekaligus mahasiswa, anak, teman, pekerja, aktivis, gamer dan label mana yang dominan sangat dipengaruhi oleh konteks sosial serta kondisi emosional. Seorang mahasiswa yang biasanya aktif di komunitas pecinta alam bisa berubah menjadi "career-driven" ketika sedang internship, lalu kembali menjadi "explorer" saat liburan semester. Jadi, bagaimana mungkin sebuah brand bisa mengikat loyalitas hanya dengan mengandalkan segmentasi statis?
Lihat bagaimana Spotify memahami hal ini. Mereka tidak hanya bertanya: "Kamu suka genre musik apa?" Tetapi mereka membaca mood, momen, bahkan perilaku mikro. Musik yang sama sekali tidak relevan saat pagi bisa menjadi teman setia di malam hari. Dengan menciptakan segmen berbasis mood seperti Focus, Chill, Workout, Spotify memosisikan diri bukan sekadar platform musik, melainkan teman yang mengerti suasana hati. Dari sisi psikologis, ini menyentuh kebutuhan dasar manusia akan resonansi emosional --- perasaan bahwa ada sesuatu yang bisa memahami dan menemani kita dalam berbagai keadaan.
Contoh lain datang dari Nike. Brand ini lama dikenal sebagai simbol atletisme. Tapi mereka menyadari bahwa identitas "atlet" di benak orang awam bisa terasa eksklusif dan jauh. Nike lalu menggeser lensa segmentasi: dari elite athlete menjadi everyday athlete. Mereka tidak hanya menargetkan pelari maraton profesional, tetapi juga ibu muda yang jogging ringan, remaja yang ikut lari bareng komunitas, atau karyawan yang ingin mengalahkan catatan waktunya lewat aplikasi. Secara psikologis, ini memanfaatkan teori self-determination bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan untuk merasa kompeten, memiliki otonomi, dan terhubung dengan komunitas. Nike membungkus semuanya dalam narasi yang relevan dengan berbagai segmen dinamis konsumen, sehingga brand mereka selalu terasa dekat dan personal.
Mari kita tarik ke konteks pendidikan tinggi, katakanlah universitas di Indonesia. Secara tradisional, calon mahasiswa sering dipetakan secara sederhana: lulusan SMA usia 17--20, tinggal di perkotaan, berasal dari keluarga menengah. Tetapi di lapangan, pola pikir mereka jauh lebih berlapis. Ada "global dreamer" yang mendambakan kuliah di luar negeri demi prestige internasional, ada "career-focused seeker" yang mencari jurusan dengan link industri kuat, ada "community-driven explorer" yang ingin menemukan jaringan pertemanan dan organisasi, bahkan ada "digital-first learner" yang lebih nyaman dengan hybrid learning. Semua identitas ini bisa hidup dalam satu individu yang sama, hanya berbeda prioritas tergantung fase kehidupannya.
Secara psikologis, hal ini bisa dijelaskan lewat teori possible selves konsep bahwa manusia memiliki banyak bayangan tentang dirinya di masa depan: diri yang sukses secara global, diri yang mapan dalam karier, diri yang aktif di komunitas, diri yang mandiri secara digital. Calon mahasiswa akan memilih universitas yang bisa menjembatani sebanyak mungkin "possible selves" ini. Jika universitas hanya bicara pada satu sisi (misalnya hanya menekankan aspek akademik), ia akan kehilangan relevansi dengan sisi lain dari identitas calon mahasiswa.
Itulah kekuatan dynamic brand segment. Ia mengajarkan bahwa konsumen tidak pernah satu dimensi. Mereka adalah narasi yang terus berkembang, sebuah perjalanan psikologis yang penuh lapisan. Brand yang sukses bukanlah yang memaksa konsumen masuk ke dalam satu kotak, melainkan yang mampu hadir dalam berbagai versi diri konsumen --- baik saat mereka bermimpi, bekerja keras, bersenang-senang, maupun mencari jati diri.
ada beberapa contoh penamaan dynamic brand segment di beberapa industri :
FMCG / Lifestyle (contoh brand kopi)
- Morning Boosters beli kopi untuk energi & produktivitas.
- Social Sippers ngopi sebagai ajang nongkrong & interaksi sosial.
- Conscious Tasters peduli sustainability & asal-usul biji kopi.
- Budget Mixers beli kopi sachet untuk harga & kepraktisan.
Telco
- Data-Hungry Streamers haus akan kuota internet
- Budget-Smart Savers suka membandingkan harga
- Social Package Seekers fokus ke apps yang sering mereka pakai
- Digital Junkie up to date banget dengan perkembangan digital & tech