Lihat ke Halaman Asli

Cita juwita alwani

PSIKOLOG RS.BHAYANGKARA POLDA JATIM

Di Balik Telekonseling: Kedukaan Ditinggal Suami Selamanya

Diperbarui: 31 Agustus 2021   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masa pandemi covid ini, luar biasa dampaknya bagi semua terutama membentur kondisi psikis kita. Setiap kali membuka televisi, membuka handphone, berselancar di dunia maya lewat medsos akan datang silih berganti menerima informasi tentang kematian yang dialami oleh orang terdekat dan kita mengenalnya. 

Iya sangat dekat, sampai kadang bermunculan pertanyaan 'apa aku ya yang selanjutnya?' sangat mengganggu, bahkan berpengaruh pada kebiasaan tidur, kerja, dan apapun aktivitas kita.

Saya ingin flashback pada beberapa bulan lalu sebelum ada PPKM, dimana ada seorang ibu muda yang baru saja melahirkan dan ditinggal meninggal oleh suaminya. Ibu tersebut menghubungi saya melalui telpon dengan menangis di sepanjang ceritanya. Saya yang awalnya tidak mengenal, menjadi kaget dan akhirnya mencoba untuk memahami setiap perkataannya, Jelas saja apa yang diceritakan tidak runtut.

Si ibu muda tersebut menceritakan bahwa betapa hancurnya dia dan perasaannya dimana harus merawat bayinya yang baru lahir tanpa adanya suami. Dia kemudian menyangkal akan apa yang dialami dan menyalahkan Tuhan saat itu.

'Suamiku baik-baik saja Bu, dia berolahraga, Saya dijagain terus..kenapa RS justru menganggap dia covid , dirawat trus meninggal, gak mungkin itu Bu, Allah kok kejem ya sama Saya, lama nunggu punya anak lha kok pas anak lahir langsung jadi janda.' 

Si ibu semakin ga karuan berbicara di telpon. Saya hanya bisa terdiam karena saya sadar bahwa kata 'sabar bu..' tidak akan membuat tangisnya akan reda, yang ada justru malah semakin kenceng ngejer nantinya.

Saya diam, sambil sesekali memberi tanggapan seperti "baik bu..""uhumm.." itu probing yang bisa saya sampaikan saat dia bercerita agar dia tahu bahwa saat berbicara lewat telpon, saya tetap ada dan tidak nyambi ngerjakan hal lainnya. Percakapan itu terjadi kurang lebih satu jam, dimana hanya tangisan yang mendominasi. Mungkin setelah si ibu muda tadi menangis kencang lalu kemudian tenang, lalu percakapan berhenti.

Keesokan harinya, si ibu muda tadi menghubungi saya kembali melalui telpon dengan reaksi yang sama tetapi yang kali ini saya sudah bisa lebih menghandle kondisinya. Kejadian ini terjadi kurang lebih tiga minggu. Sampai akhirnya kita bertemu, setelah saya agak gemes karena diminta mendengarkan tanpa harus menyela.

Ibu Muda tersebut dan saya memutuskan waktu pertemuan untuk membahas apa yang dialami. Si ibu ini menceritakan bahwa ada perasaan yang tidak bisa ditebak dalam dirinya dan ini berkecamuk jadi satu lalu mempengaruhi kemampuannya dalam beraktivitas. Pada suatu momen, muncul kemarahan dalam diri lalu ingin mengakhiri hidup bayi dan dirinya.

Momen-momen berat tersebut dialami sendiri dan sulit untuk mempercayakan orang lain sebab orang lain dirasa tidak bisa merasakan apa yang dirasa. Saat si ibu muda berkata demikian, saya juga mikir 'lha kok curhat ke aku?' tapi kemudian saya sadar bahwa ya jelaslah kan saya psikolog.

Semua kemarahan dan keinginan untuk merusak diri tersebut, alhamdulillahnya diketahui oleh keluarga yang kebetulan satu rumah. Si ibu Muda akhirnya lebih banyak mengasingkan diri, tidak memberikan ASI pada bayi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline