Lihat ke Halaman Asli

Christina Budi Probowati

TERVERIFIKASI

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis.

Saya Adalah Gadis Pemain Ludruk Itu...

Diperbarui: 27 September 2025   04:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pertunjukan Seni Teater Kontemporer di Rumah Budaya Sekar Ayu (Dokumentasi Pribadi)

"Benarkah saya adalah titisan almarhum kakek saya? Yang sampurnya disampirkan ke pundak saya untuk menggenapi keinginan terakhirnya? Yang berharap terlahir menjadi perempuan dan kembali bermain ludruk?"

Langit benar-benar telah berubah jingga dan mulai menggelap di batas cakrawala, saat pertanyaan itu timbul tenggelam menghantui saya.

Apakah saya memang pernah bermimpi menjadi pemain ludruk? Jelas tidak. Zaman telah melaju dengan sangat cepat dan rodanya pun telah menggilas banyak komunitas ludruk, yang pernah berjaya pada era sebelumnya.

Dan semarak itu memang telah menghilang perlahan-lahan mengikuti takdir kehidupannya. Seperti senja yang mesti pasrah saat malam menyelimuti seluruh warna jingganya dengan sempurna.

Ketika itu, pada tahun 2000, ludruk RRI Surabayalah yang tampak masih berjaya di antara kelompok-kelompok ludruk yang tersisa.

Dan saya yang telah tinggal di kota Pahlawan sejak tahun 1997 benar-benar tidak pernah bermimpi, apalagi bercita-cita menjadi pemain ludruk, meskipun almarhum kakek saya adalah seorang pemain ludruk, yang katanya Nenek, kemampuan bermain ludruknya telah menitis kepada saya.

Ah, mungkin karena saat saya kecil Nenek sering melihat saya bermain sandiwara. Dan lebih meyakinkannya lagi, karena saya juga hobi merekam suara saya menggunakan tape recorder kecil pemberian Bapak, disaksikan oleh Nenek yang selalu mengatakan bahwa perangai saya persis seperti almarhum kakek saya.

Meski demikian, bagi saya itu tidak menjamin bahwa saya benar-benar berbakat bermain ludruk seperti almarhum kakek saya, apalagi menjadikan ludruk sebagai profesi saya di masa depan.

Tetapi, pendapat saya itu bisa jadi memang keliru, karena saat gamelan di studio RRI Surabaya ditabuh dengan segenap rasa tertumpah hari itu, siapa yang menyangka getarannya benar-benar telah memanggil sebagian jiwa saya untuk datang, untuk menjalankan takdir kehidupan saya, sebagai gadis pemain ludruk.

Nang ning nang gong, nang ning nang gong, tak gentak tung jleng, tak gentak tung jleng. Ya, saya adalah gadis pemain ludruk itu, yang tak bisa mengelak ketika diminta untuk bermain ludruk oleh Bapak Agus Kuprit, pimpinan ludruk RRI Surabaya ketika itu.

****

Jika boleh disingkat ceritanya, pada tahun 1998 sebenarnya saya sudah mengumandangkan suara saya di RRI Surabaya bersama kelompok kentrung binaan Dinas Penerangan Surabaya, asuhan Mas Agus Romli setiap dua minggu sekali.

Pada momen usai rekaman kentrung itulah saya berkenalan dengan Bapak Agus Kuprit, pimpinan ludruk RRI Surabaya. Perbincangan hangat dan singkat pun kemudian terjadi antara saya, Mas Agus Romli, dan juga Bapak Agus Kuprit, di bawah langit kota Pahlawan yang cukup terik hari itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline