Lihat ke Halaman Asli

Reinhard Hutabarat

TERVERIFIKASI

Penikmat kata dan rasa...

Tiga Hati untuk Satu Cinta (Bagian 4)

Diperbarui: 8 Januari 2022   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi cinta segi tiga, sumber : https://thumbs.dreamstime.com/z/love-triangle-22624833.jpg

"Level mencintai tertinggi itu adalah mengikhlaskan orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain. Level kebohongan tertinggi itu adalah kalimat yang baru saja saya ucapkan."

Tanpa terasa sepuluh tahun sudah berlalu. Aku baru saja merayakan ulang tahun ke-30, dan tetap saja masih sendiri. Setelah insiden di Bali itu, aku kemudian membulatkan tekad dan pindah ke Surabaya.

Setahun pertama di Surabaya terasa sangat berat. Sebelum tidur selalunya dilalui dengan ritual tangisan air mata. Bantal, guling dan seprei kemudian menjadi saksi betapa rapuhnya seorang lelaki tanpa cinta tulus dari seorang wanita!

Namun aku kemudian mensyukuri keputusan itu, karena hal itu justru mengubah hidupku menjadi lebih baik. Everything happens for a reason! Tanpa cinta hidupku fokus mengejar cita. Belajar keras untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Itu menjadi keharusan agar tidak menjadi pecundang lagi.

Barulah saat menjelang skripsi aku dekat lagi dengan seorang wanita. Sayangnya ia perokok berat. Jadi kalau mau kissing, aku suruh dia kumur-kumur dulu pakai List*rine.

Menjelang wisuda, hubungan seumur jagung itu pun berakhir. Dengan penuh drama dan air mata, mantannya itu kemudian mengajaknya balikan lagi. Aku pasrah saja. Mantannya itu ternyata perokok berat juga. Jadi mantan pacarku itu tidak perlu harus repot-repot membeli List*rine.

Sebenarnya Ratih berkali-kali menghubungiku lewat telfon dan SMS, tapi aku mengabaikannya. Aku sendiri sudah dua kali mengganti nomor telepon agar ia tidak bisa menghubungiku.

Terkadang aku merasa malu juga kepada Ratih dan diriku sendiri. Kalau aku memang mencintai Ratih, aku seharusnya fight untuk dia, bukan malah kabur! Bukankah "sebelum janur kuning melengkung di depan rumahnya," pintu hati Ratih belum tertutup bagi pria manapun?

Tiba-tiba aku kepikiran, jangan-jangan aku kabur bukan karena Ratih, tapi karena Armand! Hah!

Iya, aku kabur mungkin karena sudah males bersaing dengan Armand. Walaupun bersahabat sejak kecil dan masih terhitung kerabat dari ibu, entah mengapa Armand ini selalu ingin bersaing denganku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline