Pada tahun 2019-2020, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa sebanyak 73,7% atau sekitar 196,71 juta penduduk Indonesia telah menjadi pengguna internet. Angka ini meningkat secara signifikan pada periode 2021-2023, di mana 78,19% atau sekitar 215.626.156 dari total populasi Indonesia tercatat aktif menggunakan internet. Sebagian besar penggunaan ini ditujukan untuk kegiatan hiburan dan kegiatan produktif seperti bisnis dan pembelajaran daring. Melihat kondisi ini, Zenius Education menjadi salah satu pionir edutech Indonesia yang mencoba menjawab kebutuhan tersebut dengan pendekatan yang berbeda dari bimbingan belajar konvensional.
Sejarah Zenius Education
Didirikannya Zenius pada tahun 2004 oleh Sabda PS dan Wisnu Subekti berangkat dari keresahan akan sistem pendidikan Indonesia yang terlalu berorientasi pada hafalan. Namun pada masa itu, tingkat penggunaan internet masih sangat rendah, sehingga Zenius memulai perjalanannya melalui bimbingan belajar offline dan merekam sesi pembelajaran dalam bentuk CD satuan. Tanpa pendanaan eksternal, mereka menjalankan operasional dengan sumber daya terbatas, bahkan memanfaatkan ruangan di rumah bimbel Sony Sugema College cabang Tebet berkat hubungan baik pendiri dengan almarhum Sony Sugema. Pada 2004-2005, para tutor awal Zenius mulai merekam materi dan menjualnya langsung. CD ini mendapat respon positif dari pasar, sehingga pada 7 Juli 2007, Zenius resmi berdiri sebagai perusahaan bernama PT Zenius Education. Tahun 2007-2010 menjadi fase penting dalam sejarah Zenius. Mereka mulai menjual DVD pembelajaran melalui jasa pengiriman pos ke berbagai daerah. Selanjutnya, pada 22 April 2010, domain zenius.net yang telah mereka beli sejak awal akhirnya dioperasikan sebagai platform pembelajaran daring. Namun, penggunaannya baru efektif pada tahun ajaran 2011-2012, saat tingkat penggunaan internet mulai meningkat. Inilah awal dari peralihan Zenius ke model digital learning berbasis web.
Daur Hidup Zenius Education berdasarkan Teori Siklus Hidup Adizes
Mengacu pada teori siklus hidup organisasi milik Adizes, fase pertama yang dilalui Zenius adalah tahap pengenalan atau courtship (2004-2007), saat para pendiri membangun ide dan visi besar namun belum memiliki organisasi formal. Dilanjutkan dengan tahap bayi atau infancy (2007-2010), ketika operasional mulai berjalan namun sangat tergantung pada peran pendiri dan sistem masih manual. Pada masa anak-anak (go-go), yaitu 2010-2019, Zenius mulai mengalami pertumbuhan besar-besaran. Mereka memperluas cakupan jenjang pendidikan, memproduksi ribuan video pembelajaran, dan memperkenalkan website sebagai platform utama. Namun, di masa ini mereka mulai mengalami kesulitan karena mengambil terlalu banyak peluang tanpa fokus yang jelas, banyak produk dikembangkan sekaligus tanpa riset pasar mendalam, dan tim kerja belum tertata rapi.
Memasuki fase dewasa awal (adolescence) pada tahun 2020, Zenius mulai mendapatkan dukungan dari investor dan memperbesar struktur organisasinya. Di tahun ini pula, mereka memperkenalkan konsep pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), serta menggratiskan seluruh akses materi selama masa pandemi COVID-19. Masa keemasan Zenius berlangsung pada tahun 2021 saat pandemi mendorong adopsi platform e-learning secara masif. Dengan ratusan ribu pengguna aktif dan sistem manajemen yang mulai tertata, Zenius sempat menjadi salah satu platform pembelajaran daring paling populer di Indonesia. Pada 2022, Zenius mengakuisisi Primagama, salah satu rumah bimbingan belajar tertua di Indonesia, demi memperkuat konsep hybrid learning. Tapi titik ini berujung pada fase kemapanan menuju kemunduran pada 2022-2023. Mereka melakukan ekspansi yang terlalu cepat dan boros, dengan investasi besar-besaran di fitur baru, promosi, dan perekrutan karyawan dalam jumlah besar. Namun, banyak layanan baru tidak mendapat umpan balik pasar, biaya membengkak, dan pengguna mulai beralih ke platform lain yang lebih sederhana dan/atau gratis.
Bukti kemunduran Zenius terbukti bahwa pada tahun 2022, mereka mengalami penurunan jumlah pengguna dan harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Puncaknya terjadi pada awal 2024. Zenius secara de facto menghentikan operasionalnya di mana aplikasi dimatikan, backend dihentikan, sebagian besar karyawan diberhentikan, dan komunikasi eksternal terhenti. Namun secara mengejutkan, pada pertengahan 2024, Zenius muncul kembali dengan melakukan perombakan besar dalam struktur dan strategi, memasuki fase revitalisasi atau second birth. Mereka tidak lagi menggunakan aplikasi mobile yang berat dan mahal, melainkan fokus pada platform web yang lebih ringan dan efisien secara teknis. Zenius juga mulai menerapkan teknologi baru seperti kecerdasan buatan seperti fitur ZenCore yang memberikan pelatihan keterampilan dasar seperti logika dan berpikir kritis yang ditujukan untuk pelajar dari berbagai usia hingga kalangan profesional. Keberhasilan Zenius bangkit meski dalam skala yang lebih kecil menunjukkan kemampuan organisasi untuk belajar dari kegagalan. Mereka tidak lagi mengejar angka belaka, tetapi mulai membangun kembali nilai inti organisasi, yakni menyediakan pendidikan yang berkualitas dan mudah diakses.
Analisis Variabel Organisasi: Zenius Education
Perjalanan Zenius Education sebagai organisasi mengalami banyak perubahan seiring waktu. Dari segi struktur, Zenius awalnya menggunakan struktur sederhana yang fleksibel dan dipimpin langsung oleh pendiri, namun berubah menjadi struktur fungsional-divisional saat mereka mulai ekspansi dan mengakuisisi Primagama. Struktur ini justru memperlambat koordinasi dan menimbulkan tumpang tindih tugas, sehingga setelah mengalami krisis, mereka menyederhanakannya menjadi tim kecil berbasis proyek agar bergerak lebih cepat dan fleksibel. Sejalan dengan itu, tingkat formalisasi yang awalnya rendah pun meningkat saat mereka berkembang, di mana banyak prosedur dan aturan mulai diterapkan. Tetapi hal ini malah membuat organisasi menjadi terlalu birokratis. Setelah bangkit kembali, Zenius memilih menggunakan formalisasi secara fungsional, cukup untuk mendukung efisiensi tanpa membatasi kreativitas tim.
Dari sisi sentralisasi, keputusan awalnya fokus berada di tangan pendiri, lalu beralih ke investor dan manajemen atas saat Zenius mengejar pertumbuhan cepat. Namun setelah penghentian operasional di awal 2024, Zenius mulai menyeimbangkan kembali arah strategis yang tetap ditentukan oleh pusat, dengan pelaksanaan operasional yang desentral di tangan tim-tim kecil. Gaya kepemimpinan Zenius sejak awal dibangun dengan pendekatan transformasional, di mana pemimpinnya membawa visi besar untuk pendidikan yang lebih bermakna. Tapi ketika tekanan pertumbuhan meningkat, gaya ini melemah dan organisasi mulai kehilangan arah. Setelah bangkit kembali, gaya kepemimpinan transformasional dikembalikan dalam skala yang lebih fokus.
Budaya organisasi juga mengalami perubahan. Awalnya, Zenius menganut budaya adhocracy, yakni budaya yang kreatif, fleksibel, dan mendorong pembelajaran, namun kemudian berubah menjadi hierarchy yang birokratis dan penuh target. Hal ini melemahkan semangat tim. Kini, mereka kembali pada budaya adhocracy yang lebih cocok untuk tim kecil yang bergerak cepat. Dari segi teknologi, Zenius awalnya unggul sebagai pelopor digital learning, tetapi saat ekspansi, mereka mengembangkan terlalu banyak fitur yang membebani organisasi. Setelah restrukturisasi, mereka memilih meninggalkan aplikasi mobile dan fokus pada platform web yang ringan dan fungsional. Terakhir, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap naik-turunnya Zenius. Ketika pandemi datang, mereka tumbuh pesat karena kebutuhan belajar daring meningkat. Tapi setelah pandemi mereda, pengguna turun, persaingan ketat, dan dukungan investor melemah. Zenius sempat gagal menyesuaikan diri, namun kini mulai beradaptasi dengan pendekatan yang lebih realistis, fokus pada kebutuhan nyata siswa, dan efisiensi operasional.