Lihat ke Halaman Asli

Sumire Chan

www.rumpunsemesta.wordpress.com

Tentang "Malam Lebaran: Bulan di Atas Kuburan"

Diperbarui: 1 Mei 2022   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://2.bp.blogspot.com/

Tak terasa Idul Fitri kembali tiba setelah beberapa hari ke belakang nikmat Tuhan begitu banyak dirasa. Tak lupa doa di penghujung Ramadan selalu diulang dengan harapan yang sama, semoga dipertemukan kembali dengan Ramadan yang akan datang.

Setelah pandemi yang cukup lama, rupanya tahun ini adalah penantian keinginan yang diwujudkan. Jika tahun lalu mudik hanya bisa dilakukan secara diam-diam atau bahkan tidak sama sekali. Tahun ini terbayar sudah. Setidaknya pandemi mulai terbiasa menjadi endemi. 

Tak heran, beberapa pelabuhan juga terminal padat dikunjungi para pemudik yang sudah hampir dua tahun memendam rindu untuk keluarga tercinta. Mudik selalu menjadi bagian paling asyik saat lebaran tiba. Kondisi macet, berdesak-desakan seakan merupakan tradisi yang kehadirannya dinantikan. Bukan mudik kalau tak macet. Bukan mudik jika jalanan tak penuh sesak dengan beragam kendaraan.

Ada yang mudik jauh-jauh hari sebelum lebaran tiba, ada juga yang memang mendekati Idul Fitri persis diangka H-2 atau halnya H-1. Kondisi ekonomi, sosial dan profesi adalah faktor dari segala alasan yang mendasari.

Mengenang lebaran dari tahun ke tahun, mengenang suka cita dalam seluruh rasa. Tak ada suka dan cita yang paling lengkap selain suka cita dalam malam lebaran. 

Suara takbir yang menggema seolah menyanyat hati teringat dosa yang menantikan dilebur Tuhan dalam hari-hari selama Ramadan. Tetapi, bagaimana halnya saat malam lebaran menjadi sebuah malam duka. Saat orang berbondong-bondong mudik, harapan yang selalu dinanti adalah bisa pulang dan pergi dengan selamat.

Mengingat hal demikian, saya jadi teringat puisi ikonik milik Situr Situmorang  yang berjudul "Malam Lebaran".  Puisi yang berisikan satu baris dengan satu kalimat pendek Bulan di atas kuburan. Nyatanya puisi tersebut juga pernah menjadi judul sebuah film, tepatnya pada tahun 1973 yang kemudian kembali di-remake di tahun 2015.

Terlepas dari hal tersebut, puisi "Malam Lebaran" ditulis sekitar tahun 1955-an. Makna yang dapat ditafsirkan menggambarkan suasana malam lebaran di masa itu. Kita memang tak tahu pasti perihal yang terjadi sebenarnya, namun itulah hal yang mewakili isi hati seorang penyair. Sedikitnya puisi ini memang banyak diperdebatkan dengan beragam sudut pandang.

Simbol diksi "Bulan" menggambarkan kecantikan, keindahan, atau kesenangan. Ironisnya, sinar bulan yang penuh dengan kegembiraan itu justru bersinar terang di kuburan. 

Simbol "kuburan" menjelaskan makna tentang kematian, kesedihan, kesepian atau kehampaan. Bisa jadi, penyair ingin mengutarakan bahwa dalam kehidupan ini selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang namun saling melengkapi sebagaimana kehidupan manusia akan selalu ditemani sisi picik dan baik, sisi terang dan gelap. Ada saatnya dalam posisi duka dan ada kalanya dalam posisi suka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline