Lihat ke Halaman Asli

Christian Evan Chandra

TERVERIFIKASI

Analis aktuaria - narablog

Mengembalikan Kejayaan Petani dan Sektor Pertanian di Negeri Agraris

Diperbarui: 3 Mei 2019   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret dari lahan pertanian yang tersisa di Ibu Kota dan terus terkikis oleh pembangunan properti. Foto dipotret oleh Aditya Fajar Indrawan untuk Detikcom.

Menengok kembali debat Pilpres terakhir, Indonesia patut berduka. Dikenal sebagai salah satu negara agraris, kini kita justru banyak mengimpor produk pertanian. Dulu pernah swasembada beras di masa Orde Baru sampai mengekspor dan menyumbangkannya ke luar negeri, kini kita justru mengimpor beras, jagung, gula, dan banyak komoditas pertanian lainnya. 

Waktu telah banyak berlalu, lahan pertanian kita terus berkurang, kebutuhan kita terhadap produk pertanian meningkat, dan banyak petani belum mengikuti modernisasi. Alhasil, kita bergantung pada luar negeri dan harga komoditas pertanian menjadi rentan berfluktuasi mengikuti pergerakan kurs.

Empat tahun terakhir, Kementerian Pertanian memang berhasil menjadikan kondisi yang ada lebih baik. Inflasi bahan makanan kita turun, ekspor pertanian naik, deregulasi sukses meningkatkan investasi dan nilai produksi pertanian, kesejahteraan petani meningkat, serta terjadinya reformasi birokrasi pertanian tanpa gratifikasi. Ke depannya bagaimana pertanian Indonesia menghadapi tantangan zaman?

Regenerasi petani

Hal pertama yang harus ditangani adalah regenerasi petani. Jumlah petani yang bekerja sekarang semakin hari semakin berkurang seiring penuaan usia, belum lagi faktor lain terkait kesejahteraan. Tidak terjaminnya masa depan keluarga membuat banyak petani memilih untuk menjual lahan garapannya kepada pengembang (jika memiliki) dan berurbanisasi menjadi buruh di kota besar.

Hal ini diperparah dengan banyak sarjana pertanian yang justru tidak mengabdi di bidangnya. Beberapa di antara mereka yang saya kenal justru mengajar biologi di sekolah, menjadi narablog, berjualan, dan masih banyak lagi. Mereka yang benar-benar bekerja sesuai kompetensinya pun mengabdi pada perusahaan besar, bukan sebagai wirausaha pertanian. Alasannya, tingginya modal untuk mengakuisisi lahan, risiko tinggi kegagalan panen, dan tidak terjaminnya kesejahteraan. Generasi penerus yang pintar lebih memilih untuk mempelajari bidang lain, misalnya ilmu aktuaria atau ilmu data.

Ke depannya, saya merasa Pemerintah perlu menjanjikan kesejahteraan yang lebih kepada para petani. Mereka perlu mendapatkan perhatian lebih terkait kredit kepemilikan lahan dan modal usaha serta jaminan pendidikan dan kesehatan keluarga. Pemerintah juga perlu melindungi para petani yang masih ingin berkarya dalam menghadapi akuisisi lahan mereka oleh korporasi.

Untuk memastikan kita memiliki petani yang berkompeten, kita perlu menjaring mereka yang memiliki pengetahuan dan minat mumpuni di bidang ini sejak kecil. Selanjutnya, mereka bisa ditawarkan program beasiswa pendidikan pertanian di lembaga pendidikan ternama (misalnya saja Universitas Indonesia atau Institut Pertanian Bogor) dengan kewajiban untuk bertani secara modern pasca kelulusan bisa dipertimbangkan dan tentunya modal awal bertani disediakan terlebih dahulu oleh Pemerintah.

Perbaikan infrastruktur pertanian

Berbeda dengan korporasi bermodal besar yang justru kita harapkan mampu berkontribusi membangun infrastruktur, petani individu justru perlu didukung dengan infrastruktur yang memadai agar mereka bisa segera menghasilkan dan hidup sejahtera. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline