Lihat ke Halaman Asli

Apakah Potensi Ekonomi yang Dimiliki Indonesia dapat Pulihkan Keadaan di Masa Pandemi?

Diperbarui: 9 Juni 2022   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam hidup ini tidak seorang pun ingin merasakan penderitaan dalam hidupnya. Semua orang tentunya ingin memiliki hidup yang bahagia. Bukan hanya individu, tetapi instansi apapun yang dikendalikan oleh manusia, pasti ingin menghindar dari kerugian dengan usaha-usaha nyata. 

Dilatarbelakangi hal ini, maka manusia akan terus berusaha segera kembali ke tatanan normal bahkan lebih baik ketika menghadapi suatu masalah. Persepsi ini menjadi suatu kenyataan terjadi ketika pandemi Covid-19 menjadi masalah baru bagi setiap orang di dunia.

Ketika Covid-19 ramai menjadi perbincangan akhir Desember 2019, siapa sangka empat bulan kemudian virus mutasi SARS-CoV2 itu terus menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Kini,  Indonesia ada di peringkat 13 penyumbang kasus positif terbanyak dengan 4.043.736 kasus pada tanggal 27 Agustus 2021, 130.182 jiwa di antaranya harus berpulang. 

Angka itu berperan dalam akumulasi total kasus positif Covid-19 secara global, dengan 215.506.746 kasus dan 4.489.048 kematian akibat Covid-19. 

Akibat dari banyaknya kasus Covid-19 di Indonesia, kondisi perekonomian memburuk, PHK dan kebangkrutan terjadi di mana-mana, bahkan IHSG sempat anjlok menyentuh angka 3.985 pada tanggal 23 Maret 2020.

Menindaklanjuti hal ini pemerintah Indonesia segera mengambil tindakan cepat. Mereka berjuang melawan segala bentuk masalah yang ditimbulkan akibat Covid-19. Baik dalam bidang kesehatan, perekonomian, pendidikan, hingga masa depan bangsa. Indonesia menggunakan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang bersifat lokal tiap daerah sebagai ganti dari karantina wilayah atau disebut lockdown yang marak dilakukan negara lain dalam rangka usaha menekan laju penyebaran Covid-19. 

Indonesia kemudian mengganti istilah PSBB menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), entah itu PPKM darurat, PPKM mikro, PPKM makro, hingga PPKM berlevel 1,2,3, dan 4.Diharapkan dengan adanya PPKM ini dapat memberikan efek atau dampak yang besar untuk memperlambat laju pemnyebaran Covid-19 ini.

Bukan tanpa alasan pemerintah Indonesia tidak menerapkan karantina wilayah. Pertama, Indonesia menekankan penanganan pandemi Covid-19 pada dua sisi, yakni kesehatan dan ekonomi. Memang benar bahwa kesehatan itu penting di masa pandemi, tetapi bukan berarti masalah ekonomi kita tinggalkan begitu saja. 

Justru ekonomi harus kita pikirkan secara matang, apa solusinya, supaya setelah pandemi berakhir, ekonomi Indonesia tidak berantakan. Kedua, lockdown membutuhkan biaya yang besar. Untuk Jakarta saja, butuh sekitar 550 miliar Rupiah per hari bila lockdown diberlakukan. 

Diprediksi untuk 34 provinsi di Indonesia, membutuhkan dana 18,7 triliun Rupiah per hari. Sebenarnya Indonesia masih mampu dan mempunyai biaya tersebut, namun dapat dilihat biaya tersebut sangat besar dan belum tentu langkah tersebut dapat dikatakan efektif, ditambah dengan tidak ada negara yang berhasil memutus rantai penyebaran secara mutlak lewat lockdown. Bisa kita lihat beberapa negara seperti Italia, Amerika Serikat, Prancis, dan Spanyol yang setelah lockdown diakhiri, kasus Covid-19 justru meningkat tajam.

Meski hanya menerapkan PSBB dan PPKM, namun hal ini terrnyata membawa dampak yang cukup besar yakni mulai terlihatnya penurunan kasus aktif Covid-19  seiring dengan penerapan PPKM Juli-Agustus dan vaksinasi yang terus digenjot sejak bulan Januari 2021. Kini, sudah ada 92,1 juta jiwa masyarakat Indonesia yang sudah divaksin dosis pertama, 33,1 juta di antaranya bahkan telah menerima dosis kedua. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline