Lihat ke Halaman Asli

ruslan effendi

Pengamat APBN dan Korporasi.

Di Balik Dismorfia Snapchat, Ada Muka Filter dan Jiwa yang Retak

Diperbarui: 16 Juni 2025   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fear-missing-out-concept-with-woman-phone (Ilustrasi)/Image by freepik

Di era digital, kita hidup dalam dunia di mana selfie bisa dipoles hingga sempurna hanya dalam hitungan detik. Teknologi filter di aplikasi seperti Snapchat dan Instagram telah menjadi cermin baru bagi jutaan orang, terutama generasi muda. Namun, di balik wajah-wajah "sempurna" yang tampil di media sosial itu, tersembunyi kegelisahan yang semakin mencuat dalam dunia medis dan psikologi, yaitu Snapchat Dysmorphia. Istilah ini digunakan oleh para dokter dan psikiater untuk menjelaskan fenomena ketika seseorang ingin mengubah penampilan fisiknya agar menyerupai versi dirinya yang telah dimanipulasi oleh filter digital.

Fenomena ini pertama kali disoroti secara serius pada awal 2018 ketika sejumlah ahli bedah plastik di Amerika Serikat dan Inggris mulai melaporkan tren aneh di ruang konsultasi mereka. Pasien, terutama dari kalangan muda, datang dengan permintaan yang tak lazim. Mereka ingin tampil seperti versi diri mereka yang ada di Snapchat, lengkap dengan kulit mulus, bibir penuh, dan mata besar bercahaya. Beberapa bahkan membawa foto mereka sendiri yang telah difilter sebagai referensi hasil operasi yang diinginkan. Dokter bedah plastik seperti Dr. Tijion Esho memilih untuk menolak permintaan tersebut dan malah menyarankan pasien untuk menjalani konseling. Untungnya, dalam beberapa kasus, pendekatan ini justru memberikan hasil yang jauh lebih positif dibanding tindakan bedah.

Dalam studi yang ditulis oleh Ramphul dan Mejias (2018), Snapchat Dysmorphia dikaitkan erat dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD), sebuah gangguan kejiwaan di mana individu merasa terobsesi terhadap kekurangan kecil---atau bahkan imajiner---pada penampilan fisiknya. Gangguan ini masuk dalam spektrum obsesif-kompulsif dan bisa mengganggu fungsi sosial maupun psikologis seseorang secara signifikan. Yang mengkhawatirkan, BDD kini tidak hanya dipicu oleh citra selebriti atau standar iklan, melainkan oleh wajah kita sendiri yang telah disunting dengan teknologi.

Ketika teknologi pencitraan diri yang seharusnya memberi kebebasan malah menjebak dalam ilusi, kita perlu bertanya: sejauh mana kita masih mengenali diri kita sendiri? Remaja kini tumbuh dalam budaya visual yang mendewakan penampilan dan mengaburkan batas antara kenyataan dan estetika digital. Media sosial bukan lagi sekadar platform ekspresi, tapi juga arena perbandingan yang terus-menerus, yang tanpa sadar membentuk ekspektasi tubuh dan wajah yang tak realistis.

Melihat ke depan, solusi terhadap fenomena ini tidak bisa hanya diserahkan kepada individu. Ada peran penting bagi dunia pendidikan, keluarga, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan literasi digital dan kesehatan mental sejak usia dini. Masyarakat perlu diajak untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan, dan media sosial harus dikembalikan fungsinya sebagai alat koneksi, bukan cermin yang memantulkan luka.

Sumber:

Ramphul, K., & Mejias, S. G. (2018). Is "Snapchat Dysmorphia" a Real Issue? Cureus, 10(3), e2263

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline