Lihat ke Halaman Asli

ruslan effendi

Pengamat APBN dan Korporasi.

"Margin Call (Movie 2011)", Posisi Akuntan yang Selalu Terlambat Bicara

Diperbarui: 14 Mei 2025   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Margin Call (AI generated)/Sumber: YouTube Flixovie | Free Movies HERE

Film Margin Call (2011) tidak menampilkan ledakan atau kejar-kejaran mobil seperti film aksi pada umumnya. Namun, ketegangannya justru terasa lebih sunyi dan dalam---karena yang sedang dipertaruhkan adalah kehancuran sistem keuangan global, dan semua itu dimulai dari sebuah lembar spreadsheet yang dibuka di tengah malam. 

Baca juga:

Tokoh utama film ini, seorang analis muda bernama Peter Sullivan, menemukan bahwa portofolio aset perusahaan tempatnya bekerja telah berada dalam posisi over-leverage yang ekstrem. Jika pasar bergerak sedikit saja ke arah yang salah, seluruh perusahaan akan runtuh. Penemuan ini bukan hasil dari intuisi kriminal atau pengkhianatan, melainkan semata-mata analisis keuangan yang tajam---dan justru di sinilah letak ironi profesi akuntan dalam sistem modern-- mereka tahu duluan, tetapi tak punya kuasa untuk bertindak cepat.

Dalam struktur perusahaan keuangan raksasa, akuntan, analis risiko, dan auditor sering kali ditempatkan di posisi penyangga, bukan pengambil keputusan. Mereka yang paling tahu struktur riil dari laporan keuangan---yang melihat bahwa profit hanyalah ilusi dari teknik pengakuan pendapatan, bahwa angka-angka di neraca dipoles melalui mark-to-market accounting atau instrumen derivatif kompleks. Namun ketika mereka berbicara, suara itu harus melewati lapisan manajer, eksekutif, dan dewan direksi yang punya kepentingan untuk menjaga citra perusahaan. 

Fakta yang ditemukan dalam Margin Call tidak langsung ditindak sebagai "alarm", tapi ditimbang sebagai "risiko reputasi". Maka, suara akuntan yang membawa kebenaran finansial sering kali datang ketika keputusan besar sudah dibuat, dan ketika publik akan segera menanggung akibatnya.

Fenomena ini bukan hanya fiksi. Dalam krisis Enron dan Lehman Brothers, kita melihat bagaimana kegagalan sistemik tidak datang karena akuntan tidak tahu, melainkan karena suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk kepentingan jangka pendek. Akuntansi, yang seharusnya menjadi alat kontrol dan transparansi, justru kerap digunakan untuk menyembunyikan masalah---dengan kerumitan teknis sebagai tameng. Ketika akhirnya seorang akuntan bicara, mereka kerap dianggap whistleblower yang mengganggu stabilitas, bukan penjaga integritas.

Film ini mengajak kita merenung: mengapa profesi yang paling dekat dengan data dan realitas justru menjadi yang paling akhir didengar? Mungkinkah sistem insentif dalam dunia korporasi telah menjadikan akuntansi sebagai pelayan narasi, bukan penjaga kebenaran? Dan lebih jauh lagi, apakah kita, sebagai masyarakat profesional dan akademik, telah membiarkan profesi ini terjebak dalam diam yang sistemik?

Margin Call bukan hanya film tentang krisis keuangan. Ia adalah alegori tentang betapa sunyinya suara kebenaran dalam organisasi yang terlalu besar untuk jujur. Ia mengingatkan kita bahwa keberanian bicara bukan hanya urusan personal, tetapi juga persoalan struktur. Dan selama akuntan terus ditempatkan di posisi yang hanya boleh bicara ketika diminta, maka krisis berikutnya mungkin sudah ada di depan mata---dan sekali lagi, suara mereka akan datang terlalu terlambat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline