Dalam sebuah acara yang saya hadiri dan menghadirkan Budayawan Emha Ainun Nadjib, ia menyelipkan sebuah kisah di akhir pemerintahan Soeharto, tepatnya di pertengahan bulan Mei 1998.
Pria yang akrab disapa Cak Nun ini bercerita, pada 19 Mei 1998, situasi politik dan keamanan di Jakarta dan sejumlah kota masih belum juga stabil pasca peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti, yang berlanjut dengan kerusuhan massal.
Pada tanggal itu, Soeharto yang baru memimpin Kabinet Pembangunan VII selama kurang lebih 2 bulan, memanggil Cak Nun dan delapan tokoh agama Islam ke Istana Kepresidenan Jakarta. Salah satu poin pembicaraan saat itu---menurut Cak Nun---adalah tekad bulat dari Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Apalagi, gelombang unjuk rasa yang semula mengangkat isu krisis ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan mundur terhadap Soeharto. Gedung DPR/MPR pun telah diduduki pengunjuk rasa, dan sebagian tokoh pemerintahan yang semula pro-Soeharto berbalik kubu menjadi penentang kekuasaan saat itu.
"Beliau sempat bertanya pada saat itu, apakah jika saya mengundurkan diri, rakyat akan baik-baik saja? Seluruh tokoh yang hadir pada saat itu pun meyakinkan Pak Harto bahwa semua akan baik-baik saja, situasi politik dan keamanan akan pulih seperti sedia kala," tutur Cak Nun mengisahkan pertemuan itu.
Namun, Soeharto sendiri sangsi kemundurannya dapat membuat kondisi berangsur membaik. Ia justru khawatir penggantinya juga akan didera gelombang aksi unjuk rasa, sehingga ia masih bertekad menuntaskan tugasnya sampai benar-benar purna.
"Anda harus mengakhiri masa kepresidenan Anda dengan anggun dan terhormat. Bukan dengan cara 'Amerika Latin'," saran Nurcholis Madjid pada pertemuan itu, seperti dikutip Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2002).
"Saya ini kapok jadi presiden. Soal mundur tidak menjadi masalah. Namun, yang penting bagaimana bisa mundur tapi konstitusi bisa dilaksanakan. Terus terang saja, tidak menjadi presiden, saya tidak akan pathek'en (penyakitan). Kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari presiden asalkan memberi pengabdian kepada negara dan bangsa," kata Soeharto, dikutip dari Zastrouw (1999).
Dua hari berselang, Soeharto benar-benar mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan yang telah diemban selama 30 tahun lebih. Terutama setelah 14 menterinya menyatakan menolak kembali terlibat dalam Kabinet Reformasi, yang akan dibentuk sebagai reshuffle Kabinet Pembangunan VII.
"Jadi, pada akhirnya, beliau mengundurkan diri atas kesadarannya sendiri. Bukan mutlak karena dipaksa oleh pihak manapun," ujar Cak Nun mengakhiri kisahnya dalam acara yang saya hadiri.
Budaya mengundurkan diri dari jabatan, memang bukan hal baru di Indonesia. Langkah ini bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan.