Lihat ke Halaman Asli

Riduannor

TERVERIFIKASI

Penulis

Pemilu dan Sistem Multipartai di Era Reformasi

Diperbarui: 1 Agustus 2022   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian atap Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jl Imam Bonjol, Jakarta, sejak Kamis (29 April 1999) dipasangi 48 bendera partai politik peserta Pemilihan Umum 1999.| KOMPAS/Jhonny TG

Wajah Politik di era Reformasi

Setelah berakhirnya orde baru (Orba), yang berkuasa selama 32 tahun, dengan ditandai pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden. Perubahan sistem kepartaian, dari tripartai menjadi multipartai menjadi keniscayaan, dalam sistem dan wajah politik, demokrasi Indonesia.

Masa transisi Orde baru ke era reformasi melahirkan Undang-undang (UU) Pemilu yang baru, yaitu UU nomor 2 tahun 1999. Dengan terbitnya UU baru, yang mengatur partai politik (Parpol), menjadikan parpol bak jamur di musim hujan.

Diera awal reformasi, melahirkan 171 parpol baru. Dan sebanyak 141 parpol yang terdaftar secara resmi. Kemudian mengerucut lagi, menjadi 48 parpol yang lolos dan bisa mengikuti Pemilu pertama di era reformasi, tanggal 7 Juni 1999.

Hasil pemilu pertama, tahun 1999 diperoleh 5 partai, yang mendapatkan perolehan suara terbanyak, yaitu PDI Perjuangan (35.689.073) atau 33,73 persen, Golkar (23.741.749) atau 22,44 persen, PPP (11,329,905), PKB (13,336.982), dan posisi kelima PAN (7.528.956).

Apa dampak sistem multipartai bagi Indonesia?

Bangsa Indonesia, dalam perjalanan sejarah demokrasi yang dijalankan, pernah melaksanakan sistem demokrasi liberal (1950-1959), yang menimbulkan dampak persaingan yang tidak sehat. Parpol saling berkompetensi merebut kursi kekuasaan di pemerintahan.

Sistem multipartai juga membebaskan siapa saja yang berkeinginan untuk membentuk suatu partai politik. Selain itu, dari sudut pandang pemilih, menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam, dan kurang memahami siapa yang akan dipilih, dan tujuan yang pemilu dengan banyaknya parpol. 

Kurangnya sosialisasi parpol juga membuat tidak efisiensi dan ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi ke tempat pemungutan suara (TPS). 

Selain itu banyaknya partai, menimbulkan banyaknya kertas suara yang rusak dan meningkatnya suara golongan putih (golput). Terutama di pemilihan legislatif (Pileg), mengalami trend dari pilpres pada tahun 2019 yaitu 29,68 persen. 

Dari sisi baiknya, di pilpres, pemilu 2019 menurut lembaga survei Indonesia (LSI) mengalami titik terendah sejak 2004, untuk jumlah suara golput.

Ilustrasi/istimewa | sumber gambar : koransulindo.com

Bagaimana dengan Pemilu 2024, apakah masih multipartai?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline