Lihat ke Halaman Asli

Bhayu M.H. Ketum NuN

Bhayu M.H. sebagai Ketua Umum M.P. N.u.N.

'65, 56 Tahun Kemudian

Diperbarui: 2 Oktober 2021   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan layar film yang disiarkan TV One semalam. (Foto: Bhayu M.H.)

Semalam, saya menonton tayangan film "Pengkhianatan G 30 S/PKI" di TV One. Sayangnya ketika episode di film memasuki pagi hari 1 Oktober 1965, saya mengantuk dan tertidur. Baru terbangun kembali saat film hampir memasuki akhir. Tak apa, toh saya sudah berkali-kali tuntas menyaksikannya sejak kecil.

Film ini penulisan naskahnya dipimpin oleh satu tim ahli dikomandani Prof. Dr. Raden Pandji Nugroho Notosusanto. Beliau sejarawan yang atas jasanya "menulis ulang sejarah bangsa sesuai selera Orde Baru", di kemudian hari diberikan pangkat militer kehormatan: Brigadir Jenderal (Tituler). Sutradaranya pun bukan "kacangan", salah satu sutradara terbaik yang pernah dimiliki Indonesia: Arifin C. Noer. Demikian pula para pemainnya. Tak kurang ada Umar Kayam, Amoroso Katamsi, dan Ade Irawan. Beberapa pemain terus bergelut di dunia peran. Sementara yang lain hanya sesekali saja. Salah satu yang unik adalah Amoroso Katamsi yang seorang dokter, berkali-kali memerankan Soeharto karena kemiripannya.

Nah, ternyata, istri saya banyak tidak tahu mengenai film ini dan sejarah 1965. Saya maklum, karena keluarganya termasuk "Abubakar": Atas Budi Baik Golkar". Jadi, agitasi dan propaganda rezim yang sebenarnya sangat kejam itu merasuk dalam ke otaknya.

Koleksi buku Bhayu M.H. terkait "Peristiwa 1965" (Foto: Bhayu M.H.)

Ini tentu berbeda dengan saya. Ayah saya Soekarnois. Bahkan nyaris menjadi "korban Soeharto" (silahkan baca tulisan saya 6 tahun lalu: http://bit.ly/MengobatiLuka 1965). Sejak S.D. saya sudah membaca banyak buku. Antara lain biografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965) dan Sewindu Dekat Bung Karno (1988) oleh Bambang Widjanarko. Sejak itu, selain buku-buku milik ayah saya, saya pun mulai mengkoleksi buku bertemakan Soekarno, Soeharto, dan Peristiwa 1965. Hingga kini saya memiliki lebih dari 200 buku bertemakan 3 hal tersebut, seperti saya tampilkan sebagian dalam foto di atas. Bahkan ada beberapa manuskrip dan salinan dokumen yang di masa Orde Baru dilarang beredar. Sebutlah di antaranya apa yang dikenal sebagai "Cornell Paper", yang judul resminya adalah A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971).

Semua itu tentu saja membuat wawasan saya jauh lebih luas daripada istri saya. Maka, dengan niat mengedukasi istri saya, izinkan saya menuliskan sekedar catatan kecil ini. Semoga juga bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sejarah Resmi versus Narasi Tandingan

Narasi sejarah resmi yang dianut Indonesia sejak Orde Baru berkuasa merujuk pada 6 jilid buku Sejarah Nasional Indonesia (1975). Di kalangan akademis terutama sejarawan, buku ini kerap disebut "buku babon", dikarenakan selain sebagai rujukan, juga tebalnya.

S.N.I. itu dtulis oleh satu tim penulis, yang diketuai oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Ya, dia orang yang sama dengan ketua tim penulis naskah film yang telah disebutkan di atas. Sejak buku itu diterbitkan, narasi sejarah selainnya dianggap "haram".

Orde Baru tidak main-main dalam menegakkan narasi ini. Di awal Orde Baru, Soeharto membentuk organ militer ekstra yudisial yang sangat perkasa dan "super power". Namanya "Kopkamtib".1) Di bawahnya ada organ lagi bernama "Laksus"2). Dua badan saling terkait itu diberi hak apa pun untuk merasuk jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Tak ada pertunjukan seni yang dapat diadakan, buku atau media massa yang dapat diterbitkan, tanpa surat izin dari Laksus Kopkamtib. Sebagai sebuah lembaga territorial, ia memiliki cabang hingga ke daerah-daerah.

Sebagai akibat dari "penegakan hukum" itu, rakyat menjadi ketakutan. Saat itu, ibaratnya "dinding pun bertelinga". Narasi-narasi yang berlawanan dengan sejarah resmi dilarang. Bahkan, sekedar membahas Bung Karno saja sulit. Berbagai buku dan penerbitan yang dianggap memuji Soekarno dihalangi. Sementara yang mempertanyakan "Peristiwa 1965" atau peran Soeharto dilarang. Apalagi yang sampai mengkritisi Orde Baru, jelas tidak akan bisa beredar di Indonesia, apalagi yang dari luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline