Lihat ke Halaman Asli

Bergman Siahaan

TERVERIFIKASI

Public Policy Analyst

Bangga Menjadi Orang Indonesia (Refleksi Chauvinisme)

Diperbarui: 18 Agustus 2020   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bendera dengan latar Gunung Merapi (Foto: Dok. Pribadi)

Dirgahayu Republik Indonesia! 17.08.2020.

Tujuh puluh lima tahun Indonesia telah merdeka.  Berdiri dengan pemerintahan sendiri yang sepenuhnya dikuasai oleh pribumi. Pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan, rasa bangga terhadap tanah air diekspresikan dengan berbagai cara. Upacara bendera, dekorasi, perlombaan, hingga cara-cara milenial seperti status medsos, profil picture, meme, dan hal-hal elektronik lainnya, mewarnai "tujuh belasan" dengan nuansa nasionalisme.

Kita sungguh harus berbangga hati. Betapa tidak? Ada negara seluas dan semajemuk ini yang bahkan terpisah-pisah oleh lautan, lembah dan gunung tetapi merupakan satu kesatuan selama tujuh puluh lima tahun! Kita juga patut berbangga hati karena Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara boneka yang dimerdekakan bangsa lain atau berdiri gagah dibawah sistem pemerintahan bangsa asing.

Ada ungkapan lama yang mengatakan: "Biar jelek tetapi punya sendiri", ungkapan yang lain berbunyi: "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang". Kita boleh merasa bangga karena meskipun tidak sementereng negara lain, Indonesia memiliki kedaulatannya yang absolut.

Bangga... Ya, itu yang ditanamkan pada anak-anak Indonesia sejak duduk di Sekolah Dasar. "Indonesia negeri yang kaya, kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman, penduduknya ramah dan tenggang rasa," kata-kata itu selalu digaungkan. Memang, kemana kaki melangkah, kekayaan terhampar di depan mata. Budaya, flora dan fauna, alam, mineral, kuliner, sebutkan apa saja, hampir semuanya kita punya. Gemah ripah loh jinawi.

Nasionalisme memang suatu kewajiban dan NKRI adalah harga mati. Namun di sela-sela euforia Hari Kemerdekaan, marilah kita sisihkan waktu untuk berefleksi. Di antara rasa bangga, sisakan sedikit ruang untuk sebuah perenungan, apa yang kita banggakan? Apakah kebanggaan kita itu chauvinisme?

Chauvinisme adalah paham tentang rasa bangga, cinta, kesetiaan terhadap bangsa namun dalam nuansa yang berlebihan tanpa mempertimbangkan pandangan orang lain sebagai penyeimbang. Chauvinisme juga bisa diartikan fanatisme terhadap bangsa dan merendahkan bangsa lain.

Ah, tidak. Rakyat Indonesia tentu tidak mempraktikkan chauvinisme. Bukankah kita adalah bangsa yang sangat beradab, berhikmat dan bertakwa? Kita juga masyarakat yang santun, menghargai perbedaan, dan mencintai kerukunan. Kita adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial tinggi dan bukan individualistis seperti masyarakat di negeri lain.

Kita bangga karena kita memang hebat. Buktinya apa? Jelas, kita memiliki segala sumber daya yang kita butuhkan sehingga tidak perlu tergantung pada bangsa lain. Tanah kita subur, apa saja bisa tumbuh, sehingga kita tidak perlu membeli bahan makanan pokok dari bangsa lain.

Kita juga bangga dengan keanekaragaman hayati nusantara sehingga kita selalu menjaganya. Kita bukan penduduk yang suka memburu satwa untuk kepuasan batin. Sehingga hewan-hewan lucu dan indah beragam itu bisa kita nikmati setiap hari di alam bebas sekitar kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline