"Tiga setengah abad dijajah Belanda." Kalimat ini terlanjur melekat dalam benak jutaan anak bangsa. Seolah menjadi mantra kelam yang diwariskan turun-temurun. Namun kini, narasi itu ditantang. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dalam sebuah pernyataan berapi-api, menyebut bahwa sudah saatnya Indonesia berhenti mendefinisikan diri sebagai bangsa yang dijajah 350 tahun. "Enggak ada itu 350 tahun Indonesia dijajah!" tegasnya.
Pernyataan Fadli bukan tanpa alasan. Dalam rentang waktu 350 tahun yang sering digaungkan itu, faktanya banyak wilayah di Nusantara justru berdiri tegak melawan kekuasaan kolonial. Dari Aceh hingga Sumatera Barat, dari Perang Diponegoro hingga Perang Padri, semangat perlawanan tak pernah padam. Sejarah kita, kata Fadli, harus ditulis ulang, bukan untuk menghapus penjajahan, tapi untuk menonjolkan perlawanan.
Penulisan ulang sejarah ini bukan proyek biasa. Melibatkan lebih dari 100 sejarawan, dipimpin oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Prof Susanto Zuhdi, proyek ini digadang rampung Agustus atau September mendatang. Buku sejarah versi terbaru ini akan diterbitkan dalam bentuk berjilid-jilid, mencakup perjalanan bangsa dari prasejarah hingga sejarah kontemporer. Sebuah langkah monumental, menyaingi upaya serupa di tahun 1984 dan 2012.
Mengapa narasi ini penting? Karena sejarah bukan sekadar catatan masa lalu. Ia membentuk cara pandang, menanamkan identitas, dan membangun kebanggaan. Jika selama ini kita tumbuh dengan narasi sebagai "bangsa terjajah," maka secara tak sadar kita mewarisi mentalitas inferior. Penulisan ulang ini adalah upaya mengembalikan martabat. Bahwa Indonesia adalah bangsa pejuang, bangsa pemberani, yang selama ratusan tahun tak pernah tunduk tanpa perlawanan.
Namun, langkah ini juga mengundang pertanyaan. Apakah dengan menonjolkan perlawanan, kita berisiko mengecilkan penderitaan akibat kolonialisme? Apakah narasi baru ini akan objektif, atau justru terjebak glorifikasi? Sejarah, bagaimanapun, menuntut keseimbangan: mengakui luka, tanpa menafikan daya juang.
Penting pula dicatat, penulisan ulang sejarah ini harus berbasis riset mendalam, bukan sekadar kehendak politis. Keterlibatan ratusan sejarawan menjadi harapan, agar narasi yang lahir adalah narasi ilmiah, bukan narasi pesanan. Karena sejarah bukan alat propaganda, melainkan cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya.
Fadli Zon juga menyoroti kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sejarah bangsanya. "Kenapa takut dengan sejarah?" tanyanya retoris. Pertanyaan ini menohok. Benarkah kita takut menghadapi masa lalu? Ataukah kita terlalu nyaman dengan narasi lama, meski ia tak sepenuhnya benar?
Penulisan ulang sejarah adalah momentum. Momentum untuk berdamai dengan masa lalu, tanpa harus membeku dalam narasi lama. Momentum untuk menanamkan kebanggaan baru pada generasi muda. Bahwa leluhur mereka bukan korban semata, tapi juga pejuang yang tak pernah berhenti melawan.
Jika proyek ini berhasil, bukan hanya buku sejarah yang berubah. Cara kita memandang diri sebagai bangsa pun akan ikut berubah. Kita tak lagi sekadar bangsa yang "dijajah 350 tahun," tetapi bangsa yang "melawan selama 350 tahun." Sebuah pergeseran narasi yang sederhana, tapi berpengaruh besar.
Kini, tinggal bagaimana pemerintah memastikan distribusi buku ini merata, materi ajar diperbarui, dan guru-guru diberdayakan untuk menyampaikan narasi baru ini dengan baik. Karena perubahan sejarah di atas kertas tak ada artinya jika tak terinternalisasi di ruang-ruang kelas dan benak anak bangsa.