Baru-baru ini Indonesia diguncang temuan praktik oplosan beras yang merugikan konsumen hingga Rp 99,35 triliun, sebagaimana dilaporkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Skandal ini bukan sekadar soal kualitas pangan, melainkan cermin dari eksploitasi ekonomi sistematis yang menghimpit rakyat kecil. Dalam merespons temuan mengejutkan ini, Presiden Prabowo Subianto memperkenalkan konsep yang menarik: "serakahnomics"—sebuah istilah yang dengan cerdas menggambarkan eksploitasi ekonomi yang tidak adil ini, sekaligus mengubah narasi kerugian konsumen menjadi "Rp 100 triliun bagi negara.”
Fenomena komunikasi politik ini menawarkan studi yang menarik tentang bagaimana elite politik Indonesia berupaya menjembatani kesenjangan antara bahasa teknis yang rumit dan pemahaman publik yang sederhana. Di tengah demokrasi yang semakin matang, kemampuan untuk menerjemahkan isu-isu kompleks menjadi narasi yang dapat dipahami dan diterima semua kalangan menjadi kunci keberhasilan kebijakan publik.
"Serakahnomics" tidak hanya mencerminkan kreativitas linguistik, tetapi juga strategi komunikasi politik yang mendalam, mengintegrasikan kritik moral terhadap praktik ekonomi yang merugikan dengan pendekatan ideologis yang mengakar pada sejarah bangsa Indonesia.
Praktik Oplosan Beras: Manifestasi Kapitalisme yang Nyata
Temuan Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkap realitas yang mengejutkan: dari 268 merek beras premium yang diuji, 85,56% di antaranya tidak memenuhi standar yang dipromosikan. Angka ini bukan sekadar statistik kering, melainkan cermin dari distorsi pasar yang sistematis dan merugikan seluruh rantai ekonomi beras di Indonesia. Kerugian konsumen yang mencapai Rp 99,35 triliun menunjukkan skala masalah yang tidak dapat diabaikan—ini adalah eksploitasi ekonomi dalam bentuknya yang paling kasat mata.
Yang menarik dari praktik oplosan beras ini adalah bagaimana praktik ini menunjukkan paradoks kapitalisme yang dialami langsung oleh masyarakat Indonesia. Di satu sisi, petani sebagai produsen primer merasakan tekanan harga yang terus menurun, sementara di ujung lain, konsumen harus membayar lebih mahal untuk produk yang sebenarnya berkualitas rendah. Inilah yang disebut sebagai "eksploitasi ganda"—sebuah sistem di mana baik produsen maupun konsumen dirugikan, sementara pihak lainnya—para pelaku oplosan—meraup keuntungan berlipat.
Bagi publik Indonesia, oplosan beras bukan abstraksi ekonomi teoretis, melainkan pengalaman konkret yang dirasakan setiap hari. Ketika seseorang membeli beras premium dengan harga tinggi namun mendapatkan kualitas yang tidak sesuai, ia sedang mengalami langsung apa yang dimaksud dengan ketidakadilan kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ini menciptakan pemahaman intuitif tentang eksploitasi ekonomi yang jauh lebih kuat daripada penjelasan teoretis yang rumit. Inilah mengapa kasus oplosan beras menjadi titik masuk yang efektif untuk membahas isu-isu ekonomi politik yang lebih luas.
Serakahnomics: Teknologi Komunikasi Politik yang Cerdas
Istilah "serakahnomics" yang diperkenalkan Presiden Prabowo Subianto merupakan sebuah terobosan dalam komunikasi politik Indonesia. Dengan menggabungkan kata "serakah"—yang bermuatan moral dan mudah dipahami semua kalangan—dengan "economics" yang merepresentasikan aspek teknis, Prabowo berhasil menciptakan jembatan komunikasi yang efektif antara kompleksitas kebijakan ekonomi dan pemahaman publik yang sederhana.
Definisi yang diberikan Prabowo untuk "serakahnomics" sebagai praktik ekonomi yang "tak masuk akal, tidak adil, dan tidak etis" menunjukkan kedalaman strategi komunikasi ini. Ketiga frasa tersebut menyasar tiga dimensi berbeda: rasionalitas ekonomi ("tak masuk akal"), keadilan sosial ("tidak adil"), dan moralitas ("tidak etis"). Dengan demikian, istilah ini tidak hanya mengkritik aspek teknis dari praktik ekonomi tertentu, tetapi juga membangun argumentasi holistik yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Efektivitas "serakahnomics" sebagai alat komunikasi politik terletak pada kemampuannya mengubah diskusi ekonomi yang biasanya teknis dan kering menjadi narasi tentang keadilan yang dapat dirasakan secara emosional oleh publik. Ketika seseorang mendengar istilah ini, ia tidak perlu memiliki latar belakang ekonomi untuk memahami esensi kritik yang disampaikan. Framing moral yang kuat dalam istilah ini memungkinkan publik untuk memahami dan mendukung kebijakan tanpa perlu menguasai detail teknis yang rumit.
Lebih dari itu, "serakahnomics" berfungsi sebagai teknologi komunikasi yang demokratis. Pendekatan ini membuka ruang bagi partisipasi publik yang lebih luas dalam diskusi kebijakan ekonomi, karena menurunkan barrier linguistik dan konseptual yang seringkali menjadi penghalang dalam demokrasi deliberatif. Dengan bahasa yang inklusif ini, warga negara dari berbagai latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi dapat terlibat dalam pembahasan isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.