Lihat ke Halaman Asli

Bene Waluyo

wirausaha

Pengalaman Naik Bus Umum Gratis di Bangkok

Diperbarui: 22 September 2015   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1431182447368835422

Kota Bangkok, secara umum suasananya (dan juga tampang penduduknya) hampir mirip Jakarta, atau mungkin juga versi metropolitannya Yogyakarta (karena sama-sama punya tulisan khas dan warganya sangat mencintai Raja/Sultan). Hanya saja dalam beberapa hal, Bangkok sedikit lebih bersih dibanding Jakarta/Yogya, warganya juga sedikit lebih tertib, dan anginnya sedikit lebih dingin di bulan Desember.

Moda angkutan umum di kota ini a.l.: MRT (Mass Rapid Transit), BTS (Bangkok mass Transit System), Airport Rail Link, kereta api, express boat di sungai Chao Phraya, taksi argo meter yang harganya tetap harus ditawar, bis-bis kota bernomor sesuai rute, dan yang paling terkenal adalah Tuk-tuk, yaitu kendaraan roda tiga yang lebih lega dibanding bajaj. Lalu jika kita melihat banyak pemotor pakai rompi warna terang oranye atau pink, mereka itu tukang ojek! Ternyata bukan cuma ada di Indonesia.

[caption id="attachment_416311" align="alignright" width="186" caption="supir tuktuk yg "][/caption]

Ketika saya dan istri berkunjung ke sana akhir tahun 2014 lalu, kami sempat “dikadalin” oleh supir tuk-tuk yang membuat jadi agak trauma. Waktu itu kami meminta diantar untuk mencari makan malam seafood yang enak dan “murah meriah”, ternyata kami malah diantar menuju sebuah resto seafood yang katanya enak dan tidak mahal. Kenyataannya, kami harus membayar lebih dari 1 juta rupiah, jika dikurs dari baht, untuk makan malam berdua.

Dengan kejadian tersebut, otomatis kondisi finansial baht kami untuk jalan-jalan di hari terakhir besok langsung anjlok di titik terendah. Untungnya saya dan juga istri ternyata masih membawa simpanan uang rupiah yang rencananya akan dipakai ketika pulang sampai di tanah air, dan untungnya lagi, ada bank (Bangkok Bank) yang mau menerima rupiah kami untuk ditukar baht.

Keesokan harinya, kami memutuskan untuk mulai berhemat. Rencana tujuan hari itu adalah kuil Wat Pho dan Wat Arun yang saling berseberangan di masing-masing sisi sungai Chao Phraya. Dari tempat kami berdiri ketika itu di depan Siam Square yang masih sepi di pagi hari, kami sudah putuskan untuk naik bis agar hemat, sembari celingak-celinguk mencari informasi tentang rute bis yang agak susah dicari, dan pastinya juga susah dibaca jika sudah ditemukan.

Setelah bertanya-tanya, akhirnya seorang perempuan muda bertampang mahasiswa dengan ikhlas memberitahu kami nomor bis mana saja, itu pun setelah ia googling di smartphone-nya. Gadis itu menyebutkan dua nomor, dan kami naiki salah satunya, yaitu bis nomor 15. Sebuah bis tanpa AC dengan semua bangku menghadap depan 2 baris di sisi kiri dan 1 baris di sisi kanan sehingga menyisakan tempat yang lega di antara dua baris bangku.

14311838311856169021

Bis berjalan dengan kecepatan sedang, tak banyak penumpang pagi itu, mungkin jam-jam ramainya warga pergi kerja dan sekolah sudah lewat. Karena lengang, kami berdua bebas memilih posisi duduk, yaitu di bagian paling depan baris kiri yang menyediakan dua tempat duduk. Supir bis mengendarai kendaraannya sembari ngobrol ngalor-ngidul (sok tahu, kayak ngerti bahasa Thai aja, hehe..) dengan penumpang laki-laki yg duduk persis di belakangnya.

Namun di benak kami masih diselimuti pertanyaan, apakah benar bis ini menuju tempat tujuan? Berapa kami harus membayarnya? Bagaimana cara kami membayarnya? Seperti saat tiba di Don Mueang Airport, kami naik bis menuju pusat kota dan membayar ongkos di dalam bis lewat seorang kernet perempuan yang menggenggam kaleng berbentuk tabung lonjong berisi uang. Tapi untuk bis kali ini, sepertinya tidak ada kernetnya!

[caption id="attachment_416303" align="alignleft" width="212" caption="supir bis 15 yg kelelahan ketika berhenti di sebuah lampu merah"]

14311821111384964129

[/caption]

Awalnya kami mengira laki-laki yang mengobrol dengan supir bis itu adalah sang kernet, tapi sampai di sebuah halte ia tiba-tiba turun dari bis. Ternyata penumpang juga! Akhirnya kami beranikan diri untuk bertanya kepada seorang penumpang pria paruh baya yang belum lama naik dan berdiri di sebelah kami duduk., “Maaf sir, berapa baht kami harus bayar ongkos naik bis ini?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline