Lihat ke Halaman Asli

BASUKI TRI ANDAYANI

Praktisi Komunikasi

Hidup adalah Kompetisi

Diperbarui: 14 April 2021   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah kita berpikir bahwa hidup adalah kompetisi? Bahkan sejak proses penciptaan kita sebagai manusia?

Sebuah jurnal kesehatan menulis, setiap hari organ reproduksi seorang lagi-laki menghasilkan 75-150 juta sel spermatozoid. Sedangkan dalam setiap proses perkawinan terdapat sekitar 15 juta sel spermatozoid yang berkompetisi untuk membuahi satu sel telur. Ini berarti ketika terjadi pembuahan dalam proses perkawinan yang akhirnya menjadi cikal-bakal manusia, setiap insan telah mengalahkan 14.999.999 kompetitor sebagai pecundang.

Kompetisi tidak pernah berhenti. Setelah kita hidup sebagai manusia, kita terus berkompetisi dimana pun juga, di sekolah, perguruan tinggi, masyarakat dan dunia kerja. Anak-anak dan remaja berkompetisi untuk mendapatkan sekolah atau perguruan tinggi terbaik dengan prestasi terbaik pula. Pun demikian di dunia kerja semua karyawan dan unit kerja saling berlomba untuk menghasilkan kinerja terbaik.

Apakah ini salah? Tentu tidak. Seperti di awal tulisan, kita tercipta melalui proses kompetisi dan pemenanglah yang terpilih menjadi makhluk bernama manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fitrah kita adalah kompetisi dan takdir kita adalah sebagai pemenang.

Bagaimana agama memandang kompetisi? Dalam perspektif Islam, kita diwajibkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot). Ibadah puasa Ramadhan misalnya, didesain Allah SWT sebagai ajang kompetisi untuk memilih orang-orang yang paling bertakwa diantara orang-orang beriman. Puasa Ramadhan adalah salah satu arena untuk menentukan orang-orang yang paling mulia disisi-Nya (inna aqromakum 'indallohi atqokum).

Untuk memenangkan sebuah kompetisi tentu tidak mudah dan perlu kerja keras. Kita harus selalu melakukan pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan. Kita harus berlatih untuk untuk meningkatkan keterampilan. Kita pun harus terus memperbaiki diri dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Pendek kata kita tidak boleh berhenti!

Seperti Sir Muhammad Iqbal penyair dan filsuf terkemuka Pakistan pernah menulis:

           Berhenti, tak ada tempat di jalan ini

           Sikap lamban berarti mati

           Mereka yang bergerak, merekalah yang maju kemuka

           Mereka yang menunda, sejenak sekalipun pasti tergilas

Jadi, kita harus terus bergerak, jangan pernah berhenti agar takdir kita sebagai pemenang tidak pernah terkhianati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline