Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Muzi Marpaung

Seorang pejalan kaki

Surat yang Kutitipkan pada Media Sosial, Karena Tak Mungkin Langsung Kukirimkan Kepadamu

Diperbarui: 17 Maret 2019   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kukatakan kepadamu tentang hijau huma; yang bakal kita kerjakan dengan sederhana; kita segera akrab dengan sinar pagi; nyanyikan kupu-kupu hinggap di rambutmu; tersenyumlah kamu, tertawalah aku; kenapakah waktu tertinggal jauh?"(Ebiet G Ade, Untukmu Kekasih, 1980)

 

Dinda, di tempat kini dikau berada. Setelah berpuluh tahun, aku merasa perlu menulis surat ini untukmu. Tentu kusembunyikan namamu. Kukaburkan beberapa bagian yang mungkin mengarahkan dugaan orang kepadamu. Tapi aku percaya, jika kebetulan kau membaca, kau akan tahu, surat ini untukmu.

Masih kau ingat pada sore ketika aku berpamitan? Umur kita baru lima belasan, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama. Aku akan berangkat ke Jawa menyusul abang sulungku. Bersekolah di sana. Sore itu aku meminta sapu tanganmu sebagai kenang-kenangan. Sesuatu yang bisa membuatmu terasa di dekatku. Permintaan yang mungkin janggal dan lucu. Apa lagi romantis. Engkau tertawa kecil. Kau bilang, tak boleh memberikan sapu tangan bekas sebagai kenangan. Itu tanda nanti kita akan dipisahkan.

Esok harinya, sesaat sebelum aku berangkat kau memberiku sehelai sapu tangan. Sapu tangan baru. Aku tersipu. Pemberian paling berkesan di sepanjang hidupku.

Walau tak terucap, kurasa kau tahu aku mengasihimu. Akupun merasa kau mengasihiku. Hampir setiap hari kita bertemu dan berpisah di tikungan jalan, saban berangkat dan pulang sekolah. Di sepanjang jalan itu kita berbagi banyak cerita. Atau tepatnya, aku yang lebih banyak bercerita. Sementara kau lebih sering menanggapi dengan sahutan pendek, senyum dan juga tawa.

Kuceritakan kepadamu tentang mimpi-mimpiku, cita-citaku, kesangsianku bersekolah di kota kecil kita ini dapat membawaku ke masa depan yang kuimpikan. Itu sebab aku harus ke Jawa. Pendidikan terbaik ada di sana.

Pada hari keberangkatan itu, Dinda. Tak ada kata cinta yang terucap. Kupikir, perlu waktu untuk mendewasakan pikiran. Ada kebimbangan juga, siapalah tahu rasa itu sekadar cinta remaja yang tergesa-gesa. Biarlah ia mengendap beberapa waktu. Kalau benar cinta, maka jarak yang jauh pastilah akan membesarkannya. Masih kuingat tatapan matamu hari itu. Keteduhan yang menggoda. Berdesir sukma ragaku, Dinda. Tapi kutahankan. Bukankah cinta harus dirawat dengan kesabaran?

Kau ingat Dinda, sapu tangan pemberianmu itu. Bertahun-tahun ia menemaniku. Bersemayam nyaman di saku bajuku. Hingga kemudian waktu membuatnya pudar dan rapuh. Tapi tidak perasaanku. Semoga masih kau ingat surat-surat yang saling kita kirimkan itu. Perasaan yang tertuang dalam tulisan. Renjana yang berpendar dalam kata-kata. Itu adalah masa terindah dalam hidupku.

Masih kurasakan aroma kertas surat berwarna pastel itu. Masih dapat kurasakan debaran jantung menanti suratmu. Masih kuingat kebiasaanmu menyebut diri tidak dengan 'aku' melainkan dengan namamu. Kebiasaan orang kita yang menandakan kedekatan. Juga kesopanan.

Membaca surat-suratmu, selalu dapat kubayangkan kita duduk agak berdekatan, bercakap-cakap tentang banyak hal, nyaman dalam tatapan yang malu-malu tapi menentramkan. Tak lagi aku sangsi, inilah cinta seorang lelaki kepada perempuannya. Cinta seorang perempuan kepada lelakinya. Maka kupilih satu hari untuk menuliskan surat cinta kepadamu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline