Pagi itu, Ibu Siti berdiri di depan lapak beras di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Matanya menyipit membaca label harga: Rp15.500 per kilogram untuk beras medium. Di sebelahnya, cabai rawit merah dihargai Rp85.000 per kilogram, sementara daging ayam potong menyentuh Rp42.000 per kilogram. Ia menghela napas, lalu memutuskan hanya membeli setengah kilo beras dan segenggam cabai.
“Anak-anak harus makan, tapi gaji suami belum naik,” katanya pelan.
Kisah Ibu Siti bukan cerita tunggal. Di seluruh Jakarta, jutaan keluarga kini menghadapi tekanan yang sama: kenaikan harga kebutuhan pokok yang tak sebanding dengan daya beli mereka. Beras, cabai, dan daging ayam—tiga pilar dapur Indonesia—kini menjadi beban berat yang menggerus anggaran rumah tangga hingga ke akar.
Menurut data dari GoodStats.id (September 2025), inflasi harga pangan di Jakarta mencapai 8,7% year-on-year, jauh di atas rata-rata nasional. Kenaikan paling tajam terjadi pada:
- Beras medium: naik 22% dalam 6 bulan terakhir.
- Cabai rawit: melonjak hingga 150% akibat gagal panen di sentra Jawa Timur dan Nusa Tenggara.
- Daging ayam: naik 18% karena kenaikan harga pakan ternak dan gangguan rantai pasok.
Bagi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah—buruh harian, ojek online, guru honorer, pedagang kaki lima—kenaikan ini bukan sekadar angka. Ia adalah ancaman nyata terhadap ketahanan pangan rumah tangga.
Dari Dapur ke Jalan: Ketika Daya Beli Terkikis
Seorang driver ojol di Bekasi mengaku, penghasilan harian bersihnya kini sekitar Rp120.000. Dari jumlah itu, Rp45.000–Rp50.000 habis hanya untuk makan keluarga.
“Kalau dulu bisa makan ayam seminggu dua kali, sekarang paling cuma telur,” ujarnya.
Di kalangan ibu rumah tangga, strategi bertahan hidup pun bermunculan:
- Mengganti beras dengan campuran jagung atau ketan.
- Membuat sambal dari cabai kering atau gilingan murah.
- Menunda pembelian daging hingga ada acara khusus.
Namun, solusi-solusi ini hanya menunda masalah. Karena pada akhirnya, nutrisi keluarga tetap terganggu, terutama anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Akar Masalah: Bukan Hanya Cuaca, Tapi Sistem
Pemerintah sering menyalahkan kemarau panjang dan gangguan iklim sebagai penyebab utama. Memang, kekeringan telah mengurangi produksi padi dan cabai di banyak daerah. Namun, akar masalahnya lebih dalam: lemahnya sistem logistik pangan nasional.