Lihat ke Halaman Asli

Menyorot Ihwal Justice Collaborator Sebagai Dasar Peringanan Pidana

Diperbarui: 2 Maret 2023   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023).(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Oleh : Azalia Purbayanti Sabana, S.H., M.H.

Sepekan lalu, publik dihebohkan dengan vonis persidangan kasus Sambo cs yang melibatkan beberapa terdakwa diantaranya Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer.

Kelima terdakwa tersebut dijatuhi vonis yang berbeda-beda oleh Majelis Hakim, namun yang paling membuat publik terkesan adalah penjatuhan vonis kepada terdakwa Richard Eliezer dimana vonis yang diberikan bersifat ultra petita jauh dibawah tuntutan JPU yaitu dari 12 tahun menjadi 1 tahun 6 bulan.

Hal tersebut memunculkan banyak apresiasi dari kalangan masyarakat, para pejabat, para pengamat hukum, dan para amicus curiae.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Eliezer telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan Alm. Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Dalam ratio decidendinya, Majelis Hakim mengabulkan dan menetapkan terdakwa Eliezer sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap fakta persidangan dan membuat jalannya perkara menjadi terang benderang. 

Penetapan tersebut berdasar atas pengajuan permohonan perlindungan yang diajukan oleh Eliezer kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kemudian LPSK merespon pengajuan tersebut melalui surat rekomendasi status justice collaborator setelah meng-assesment konsistensi kesaksian dan perilaku Eliezer dalam persidangan.

Dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya (in criminalibus probationes debent esse luce clarions) termasuk di dalamnya adalah keabsahan dan kesesuaian antara alat bukti satu dengan alat bukti yang lain agar membuat terang persidangan.

Jika kita tilik kebelakang, pada awal persidangan terjadi banyak ketidakkonsistenan jawaban antara saksi satu dengan saksi lainnya seperti kesaksian Susi ART Sambo dan Kuat Ma’ruf terkait peristiwa di Magelang sehingga Majelis memutuskan untuk mengonfrontasi keduanya serta perbedaan kesaksian Eliezer dan Sambo terkait sarung tangan. 

Jika diruntut dalam alur yang sama, perbedaan kesaksian tersebut dapat menimbulkan misleading di persidangan. Maka dari itu, urgensi adanya peran esensial dari seorang justice collaborator sangat dibutuhkan untuk menyibak tabir kebenaran sehingga Majelis Hakim tidak ragu-ragu dalam menjatuhkan putusan dan persidangan selamat dari kesesatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline