Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Durjana!

Diperbarui: 3 September 2019   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya pikir kejadian seperti ini hanya ada di sinetron-sinetron televisi yang memuakkan dan berulang kali garis besar ceritanya sama, hanya saja tokoh dan suasananya yang berbeda. Tapi nyatanya, pagi ini benar-benar terjadi di depan mata saya sendiri. Rasanya seperti sedang menonton sinetron secara langsung saja. Hati saya benar-benar remuk redam. Entah apa yang dipikirkan gadis belia itu. Sungguh tega! Tega pokoknya! Terkutuk! 

...

Pagi ini, terik matahari Jakarta membakar gelora saya. Maka seperti biasa saya berjalan menuju sekolah-sekolah untuk menjemput rejeki hari ini. Apalagi kalau bukan menjajakan cilok yang saya buat dengan tangan sendiri. Padahal senin pagi begini biasanya saya akan sambut dengan penuh semangat empat lima. Suasana hati saya sedang bagus-bagusnya, mungkin juga karena belum lama ditinggal bulan Agustus maka tiba-tiba berlagak nasionalisnya menjadi-jadi. Alangkah indahnya setiap mata memandang anak-anak SMP ramai-ramai bersiap untuk mengikuti upacara bendera setiap Senin pagi. Semangat saya jadi ikut berkobar-kobar, Optimisme pada remaja-remaji penerus bangsa naik beribu kali lipat.

Tapi Senin ini lain cerita. Tiba-tiba bayangan imajiner yang menggelorakan dada itu lenyap tatkala harus melihat peristiwa yang amat menyakitkan batin. Beberapa ratus meter lagi harusnya saya sampai ke depan SMP dan mulai berdagang sambil menikmati bayangan imajiner saya tadi. Namun, di sebuah jalan dekat sekolah itu saya melihat kerumunan orang-orang gaduh. Dan lamat-lamat terdengar makin jelas teriakan-makian seorang gadis belia.

Sepeda motor butut saya rem mendadak, memastikan dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi. Kerumunan orang-orang itu sedang menyaksikan pula kejadian yang menyedihkan itu. Saya putuskan untuk memarkir motor di pinggir jalan dan menghampiri.

"Anjing! Lu bisa ganti nggak? Gua gamau tau, lu harus gantiin!" Teriak sang gadis. Sosoknya semakin jelas semakin saya mendekat. Gadis dengan rambut pendek sebahu dengan pakaian seragam SMP nya, sedang berdiri bertolak pinggang dan sedang memaki seorang lelaki yang berusia sekitar lima puluhan yang berjongkok di selokan pinggir jalan itu. Saya perhatikan tangannya mengaduk-aduk dasar selokan,  sedang berusaha mencari sesuatu.

"Neng jangan gitu neng, he!!" beberapa orang meneriaki sang gadis, tapi justru makin kalap. Si gadis menendang sepeda motor di sampingnya yang hampir sama dengan milik motor milik saya itu dengan kakinya. Roboh seketika.

"Bangsat! diem lu pada! Ga usah ikut campur urusan orang!"

Seketika terdengar koor orang-orang menyebut ampun pada Tuhan dari mulutnya, saya pun mengelus dada dengan keheranan, ada apa yang terjadi sebenarnya?

Sang lelaki itu kemudian berhasil mengangkat sebuah benda, dibersihkannya benda itu dengan kemeja bagian atas yang belum basah terkena air hitam selokan itu. Di tangannya terlihat sebuah telepon genggam.

"Nanti bapak servisin ya nak, jangan marah, sabar ya nak.." ucapnya pada sang gadis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline