Lihat ke Halaman Asli

Ayatullah Nurjati

penikmat seni, pencinta Aquscape, Penggiat Teater, Penikmat musik Dangdut, Pemancing Amatir

Pahlawan Nan Tulus dengan Realitas

Diperbarui: 9 Desember 2022   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku adalah penduduk yang tinggal dekat tempat sampah umum,  Disini bisa kau temukan penduduk sebagai pejabat yang berdiam diri dengan kemapanan,  pejabat yang mengolah sampah berjas dan berdasi dan yang perempuannya berpakaian elegan dibalut kemeja dan hem putih dengan blazer hitam seolah akan mengisyarakat asosiasi yang berbeda. Anak-anaknya berpenampilan perlente. Akan tetapi pemulungnya jelaslah jauh dari kemapanan.

Memang tempat sampah bau akan sampah apalagi dekat WC umum tak akan mungkin bau wangi.  Bisa kau bayangkan bagaimana aromanya? Di luar atau arena tempat sampah memang demikian, akan tetapi berbeda jikalau kau datang, singgah dan bertamu ke rumah para penghuninya, disana kau temukan aroma rumah yang penuh dengan wewangian dan penataan rumah mewah nan elegan tidak terkecuali rumahku. 

Penarik gerobak sampahnya disana memiliki mobil mewah berkelas dan jelas bertolak belakang dengan kenyataan ada. Ironis sekali itu karena Semua jelas berbeda ketika kau memiliki secarik kertas ijazah di sector formal maka kau akan mereguk keindahan walaupun tidak semua orang memilikinya atau bernasib baik.  Berbeda 180 derajat dengan mereka yang tidak memiliki ijazah ataupun masuk ke sector formal institusinya.

Memang tuhan adil menciptakan kelas agar si miskin membutuhkan sang kaya demi kehidupannya begitu juga sang kaya akan membutuhkan bantuan dan tenaga dari si misikin. Begitu salah satu Hadits yang kupelajari di sebuah hadist ketika aku masih kecil yakin "Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian." 

Akan tetapi kenyataan jadi berbeda seolah sang kaya menjadi sombong dan angkuh dengan kekayaannya sehingga meminggirkan kaum miskin yang ada. Untungnya kulihat para pemulung yang notabenenya orang tidak mapan sepertinya menjalankan apa yang telah tertuang dalam Hadits "Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka.". itu asusmsiku saja, entah benar atau tidak, sabar adalah kunci dari ujian yang Tuhan berikan kepada mahluknya.

Tempat itu merupakan ajang untuk mencari rejeki dan walaupun begitu jarang sekali ada persaingan dan pertentangan antar mereka. Di tempat Pengolahan Sampah Terpadu agak jauh dari pusat kota itu pun kotor penuh dengan aroma busuk itupun ternyata terselip sebuah keindahan dari penjelmaan seorang dewi yang turun dari kayangan dan ternyata nyasar di tempat pengepulan sampah itu.  

Para pemulung yang setiap menyetor plastic dan berbagai sampah yang bisa di daur ulang, Tapi tidak Sunarti sang pemudi yang belum genap berusia 17 tahun harus menerjang keras hidup dengan memulung. Terpaksa dia harus meninggalkan kampung halaman karena terbuai janji dipekerjakan sebagai babu demi menghidupi ibundanya yang telah udzur dan adik-adiknya yang butuh biaya untuk pendidikannya.

Tapi kenyataan lain Ketika ia pertama kali menjajakan kakinya di Jakarta dibawa oleh seorang broker yang berjanji akan menyalurkanya menjadi pembantu rumah tangga, Ternyata ia harus bekerja di tempat gemerlap yang siap menyajikan keindahan sesaat.  

Ternyata orang yang berjanji padanya memberikan pekerjaan adalah seorang mucikari, Ia harus menanggalkan norma dan etika yang telah ia patri dalam hidupnya. Tapi ia berontak dan lari dari kenyataan dan menjelma menjadi penyakit Masyarakat. Ia terlunta-lunta hidup di jalanan, berbekal keyakinan ia punguti botol air mineral, kaleng-kaleng dan semua barang yang bisa didaur ulang ke pengepul sampah.

Memang badannya dekil tapi guratan kecantikan tak pernah pudar, betapa perempuan sibuk untuk pergi menikur dan pedikur atau suntik serum demi keindahan kulit dan wajah mereka atau luluran sementara Sunarti lulurannya dengan debu dan kotoran sampah, seolah baksil atau bakteri yang biasa mengurai sampah enggan dengan tubuhnya nan elok. Meskipun terlihat agak kumal, kusam dan kotor akan tetapi tak membuat tubuhnya sakit. Aneh memang jika memang melihatnya berkutat dengan sampah setiap hari.   

 Taman sampah layaknya surga nan kemarau, semua dinikmati dalam untaian labirin. Dia tetap teguh dengan keyakinan dan kesuciannya meskipun terkadang banyak yang menggodanya. Dia tetaplah memegang norma dan etika dimana agamanya mengajarkannya bagaimana harus bersikap. Dia adalah remaja yang harus menanggalkan masa mudanya untuk bersenang-senang. Tibalah kiranya nasib baik menghantarkannya pada suatu realitas kepada nasib yang lebih baik.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline