Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

CMP 141: Pasir Pantai Panas

Diperbarui: 14 April 2024   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ilustrasi: dik. pri. Ikhwanul Halim

Aku berpindah dari meja ke meja, mengisi gelas dan menata piring di Kafe Tepi Laut ketika Vivi masuk. Sebetul nya bukan kafe dan tidak persis di tepi laut. Kami adalah satu-satunya rumah makan padang dengan meja bar terdekat dengan pantai umum, di mana pasirnya berada. Kakimu akan terbakar jika berani menyentuhnya secara langsung, tapi aku merasakan panasnya meski jaraknya dua ratus meter dari tepi pantai.

Dia berjalan ke bar dan mencoba bersandar santai sampai dia menarik perhatianku. Aku terdiam sesaat, menyadari rambutku yang putih karena matahari menjadi basah dan berat di kepala.

Senyumanku natural, tapi aku tidak berani mengangkat tanganku yang memegang piring untuk melambai. Gemetar, menunjukkan kegugupanku saat melihatnya. Dia menunggu sampai aku istirahat, lalu memberi isyarat agar aku bergabung dengannya di teras belakang.

"Surprise."

Bintik-bintik basah terbentuk di bawah lengan kemeja berkerahnya. Rambut hitam menempel di pangkal lehernya.

"Sudah lama!" kataku. "Apa yang membawamu kembali ke Teluk?"

"Aku sekarang Chef di Resto Tanjung, dekat dermaga. Baru mulai minggu lalu."

Jantungku berdebar kencang saat aku menyadari dia akan tetap di sini. Ada asa mengalir di diriku.

"Enak, dekat dermaga." Aku mendengar suaraku sendiri. "Pantai pribadi. Lebih keren. Nggak terlalu lembap."

Vivi terkekeh. "Kamu tak pernah datang mengunjungiku di Pangandaran. Kalau sudah di sana baru bisa bilang apa itu lembap yang sebenarnya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline