Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Mimpi Farah

Diperbarui: 19 September 2022   18:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

arthive.com

Pada hari Minggu pagi, sebagai persiapan untuk hari yang datang, Farah mandi air panas. Dia suka masuk ke air ketika masih belum sempat tenang. Dia tidak langsung duduk. Sebaliknya dia berdiri, dan dengan jari-jarinya, mengikuti aliran kondensasi yang mengalir di dinding. Setiap jejak putus saat air  menciptakan rute yang tidak terduga.

Setelah puas, dia duduk.

Selama mandi dia membaca puisi dengan suara keras, rendah dan anggun. Puisi favoritnya adalah saat kata-kata tenggelam di bawahnya, bersembunyi di balik bayangan tubuhnya, mencemari air.

Setelah itu, Farah menghabiskan satu jam untuk memilih pakaian. Dia juga akan memilih pashmina, dan dia tinggal di Kota Hujan Angin, itu pasti karena itu akan menjadi pashmina tebal  yang bisa diikat erat di lehernya. Tidak ada yang lebih buruk daripada kehilangan pashmina karena ditiup angin kencang di saat hujan lebat.

Pada pukul dua, Farah mendatangi sanggar komunitas, sebuah studio di lantai paling atas apartemen. Dia telanjang. Saat dia berada di posisinya, lima orang lainnya memasuki ruangan. Hampir selalu tidak ada pembicaraan, hanya detak langkah pengajar di lino dan mungkin batuk dehem lembut.

Farah sudah melakukan ini cukup lama untuk tergerak oleh ketelanjangannya, dan daya pikat yang tak lagi sama seperti dulu. Dia sekarang datang hanya untuk melihat. Dari jendela Farah bisa melihat taman di bawah. Ini adalah taman masa kecilnya. Semak liar, hijau dan rimbun. Selama dua jam dia memperhatikan pohon-pohon yang gelisah dan rumput yang menggigil, cucian yang mengepak dan pergerakan orang yang mengalir. Sampai kelas selesai dan dia berpakaian dengan cepat, menghindari mata tajam para seniman, dan kegelisahn dirinya.

Sesampai di rumah dia makan malam: nasi dari panci pemanas, sayur bening, dan ikan sarden.

Pada usia tujuh dia mulai mengingat. Dia ingat kebencian ibunya terhadap semak mawar berduri, dan musim hujan merobeknya dari bumi. Dan kemudian kolam kecil di dasar taman tempat dia menonton katak kawin dan menangis karena kekejaman hewan itu. Dia ingat lengkungan cabang-cabang yang bengkok di musim dingin, asam hujan di lidahnya dan sengatan matahari.

Pada pukul sembilan, dia mulai lupa.

Farah tidur nyenyak pada Minggu malam. Dia telah mengisi harinya hanya untuk mengosongkan dirinya sekali lagi. Mimpinya menenangkan. Napasnya berat dan teratur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline