Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Jalan Air

Diperbarui: 18 September 2022   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Di bawah langit senja tanpa cahaya jalan bersinar. Pendarannya dicuri dari matahari terik siang yang telah berlalu.

Dia duduk diam di bangku, tangan terselip di bawah paha. Punggung melengkung untuk menjadikan dirinya kerdil. Orang-orang bergegas, melirik, dan lanjut bergegas lagi. Sebelumnya, mereka bisa saja berhenti, melihat apakah dia baik-baik saja, bertanya apakah dia ada di gedung itu, gedung yang terbakar. Tapi sekarang mereka hanya ingin pulang selagi masih bisa.

Dia juga harus pulang. Air menggenang di sekitar kakinya. Tidak, lidah air tidak menjilatnya. Tidak ada tarik-dorong, masuk-keluar, hanya riak gelombang air merayap, naik sedikit demi sedikit.

Berapa lama sebelum seluruh kota merasakan banjir?

Dia masih bisa mencium bau asap. Bahkan lidahnya merasakannya juga. Air dari gelombang laut pertama telah masuk ke ruang bawah tanah gedung kantornya. Korsleting listrik. Aneh bagaimana air bisa menyebabkan kebakaran.

Ayahnya pernah memberitahunya ketika dia masih kecil, air akan selalu menemukan jalannya. katanya ketika mereka berdua menatap air yang menetes melalui fitting lampu di langit-langit dapur, air selalu mengambil jalan dengan halangan terkecil. Air yang diharumkan dengan gelembung wangi, meluap dari bak mandi di lantai atas. Ayahnya telah memanggil pemadam kebakaran dan kemudian mendobrak pintu kamar mandi. Tidak perlu terburu-buru.

Kebakaran di kantor tadi siang cepat sekali padam. Armada pemadam kebakaran yang sibuk dengan karung pasir dan pompa di tepi pantai, lambat tiba, deru mesin mereka dan raungan sirene mereka ditenggelamkan oleh gemuruh dinding roboh yang baru dimulai. Bangunan itu runtuh dan terlipat ke dalam. Tidak semua orang keluar hidup-hidup.

Dia memikirkan ayahnya, yang sudah tua sekarang, menunggunya pulang. Menunggu seperti yang dia lakukan setiap malam dengan nasi dingin, lauk hambar, sayur asin, dan teko teh menunggu di meja dapur.

Langit-langit di atas dapur masih tetap bernoda.

Dia memikirkan mayat-mayat di gedung itu. Mayat-mayat yang bukan mayat lagi, hangus menjadi arang tidak bisa dikenali. Tidak ada yang tersisa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline