Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Legenda Sang Perusak (Bab 11)

Diperbarui: 16 September 2022   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Saat melintas rumah duka, rasa dingin menjalari tulang punggung Awang, membuatnya bulu kuduknya bediri dan dia panik. Jendela-jendela yang gelap memenuhi pikirannya dengan imajinasi yang belum digali sejak hari-hari terakhirnya di tempat tua yang menyeramkan itu.

Dia telah melihat begitu banyak orang mati di sana! Di sana orang yang meninggalm normal atau karena hal lain,  diselenggarakan dan pikiran yang membanjir mendorongnya ke tepi jurang. Apakah tirai yang lepas di salah satu jendela di lantai atas bergerak? Itu pasti tipuan cahaya atau karena otaknya sedang mabuk dibawah pengaruh tuak!

Tidak masalah. Awang berlari sekencang-kencangnya menuju rumahnya. Perutnya berguncang akibat tuak yang ditenggaknya.

Melewati rumah duka, rasa takut makin membuncah dan mendorong kakinya yang lelah untuk bergerak lebih cepat lagi. Tetapi semakin dekat dengan rumahnya, semakin banyak bayangan imajinasi semakin berkecamuk.

Tiba-tiba, dia mendengar langkah kaki di belakangnya dan semakin mendekat dengan cepat. Terengah-engah ketakutan, dia akhirnya mencapai halaman depan dan kemudian serambi rumahnya beberapa detik kemudian. Mencakar gagang pintu, pikiran bahwa pintu itu terkunci dan langkah kaki yang menderap di belakangnya dengan cepat mengepungnya. Langkah kaki semakin terdengar di telinganya, dan dia baru menyadari bahwa dia terus menggedor pintu kayu dengan tinjunya ketika rasa sakit itu akhirnya menghantamnya.

Wajah terkejut Kuntum muncul secara tak terduga melalui tirai, dan ketakutannya semakin membuncah saat air mata mengalir di pipinya.

Kuntum menarik pintu hingga terbuka dan dengan kekuatan penuh sehingga tubuhnya terjerembab ke lantai ketika Awang terjun ke dalam rumah dan pintu menutup dengan keras di belakangnya.

"Ada apa, sayang?" Kuntum yang terkesiap tergeletak di lantai.

"Jendela... ru-rumah... bergerak... langkah kaki...." kata-kata muntah dari mulut Awang, terputus-putus saat terbaring di sebelah Kuntum. Tiba-tiba menyadari bau alkohol yang merebak memenuhi ruangan karena napas Awang yang terengah-engah, Kuntum dengan marah berkata, "Kamu mabuk, Awang! Kemana saja kamu? Aku khawatir setengah mati! Apa yang salah denganmu? Kamu terlihat seperti baru saja melihat hantu!"

Saat napasnya kembali normal, Awang merasakan desakan yang tiba-tiba untuk muntah. Dalam perjalanan menuju kamar mandi, wastafel, atau apa pun selain pintu depan, desakan itu menjadi kenyataan. Tuak menyembur dari perut ke tenggorokan, tumpah ke lantai dan memercik ke segala arah dalam radius lima meter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline