Villanelle adalah puisi 19-baris yang terstruktur, dengan dua pola rima dan dua baris refrain (pengulangan baris). Terdiri dari lima terset (stanza 3-baris) dan ditutup dengan satu quatrain (stanza 4-baris). Baris pertama dan ketiga dari terset pembuka diulang bergantian di baris terakhir dari bait berikutnya. Di bait akhir, kedua baris refrain berfungsi sebagai kesimpulan penutup. Bentuk puisi villanelle adalah: A1-b-A2 / a-b-A1 / a-b-A2 / a-b-A1 / a-b-A2 / a-b- A1-A2. (huruf besar menunjukkan refrain dan huruf kecil menunjukkan pola sajak/rima).
Meskipun villanelle modern merupakan puisi dengan pola terstruktur tetap, namun pada awalnya bukanlah merupakan puisi dengan bentuk baku. Di era Renaissance, villanella dan villancico (dari bahasa Italia villano, atau petani) merupakan lagu pengiring dansa di Italia dan Spanyol. Para penyair Perancis yang menyebut puisi mereka dengan villanelle tidak mengikuti struktur sajak atau refrain tententu. Sebaliknya, sesuai dengan judul tersirat bahwa seperti pada lagu pengiring tarian Italia dan Spanyol, puisi mereka mengangkat tema sederhana tentang pedesaan atau kehidupan petani dan penggembala.
Beberapa sastrawan menganggap bahwa villanelle telah ada sejak abad ke-16, namun pendapat umum adalah hanya satu puisi Renaissance yang ditulis dalam bentuk yang kini kita kenal, sampai didefinisikan dalam sebagai puisi bentuk tetap oleh penyair Perancis abad ke-19, Théodore de Banville.
Berikut adalah dua puisi villanelle karya penulis.
Dendam Tak Sampai
aku lelaki, sungguh lelaki, tapi hatiku bukan batu
ketika kau membuang muka, meludah dengan congkak
sebagai lelaki, benar lelaki, kugenggam rasa itu
mungkin kau tak sadar, sabar kubiar, hari-hari berlalu
kutanam seribu budi pada lelaki yang kau panggil bapak
aku lelaki, sungguh lelaki, tapi hatiku bukan batu
karena aku lelaki, nyata lelaki, punya rasa cemburu
kau berjalan dengan sembarang pria sungguh tak layak
sebagai lelaki, benar lelaki, kugenggam rasa itu
tiba saatnya, membuat perhitungan menutup buku
karena jantungku terus berdarah, lukanya meruyak
aku lelaki, sungguh lelaki, tapi hatiku bukan batu
kini dihadapanku, saat pembalasan, bergaun putih susu
kau berdiri, siap mengikat janji dengan rasa muak
sebagai lelaki, benar lelaki, kugenggam rasa itu